Bab 38Tempat Di Mana Aku Seharusnya
"…Apa?"
Perkembangan yang mendadak itu membuatku tercengang sejenak.
Itu hampir terdengar kayak dia punya kasih sayang yang positif padaku. Mustahil, itu mustahil. Lagipula, segala yang sudah aku lakukan pada Natsukawa terus-menerus memaksakan diriku padanya, jadi itu pasti sangat mengganggunya.
"Dengar, ya, Sajocchi, aku sendiri juga tidak tahu detailnya, tetapi aku mendengar langsung dari Aichi. Sejak tadi pagi, tampaknya rencana 'Sajocchi bertemu Ai-chan' sudah diputuskan oleh Aichi. Makanya dia memperlakukanmu dengan sangat kasar sepanjang hari ini. Maksudku, Sajocchi, hari ini kamu benar-benar membuat Aichi gugup. Dan juga, akhir-akhir ini kamu sama sekali tidak datang untuk mengobrol dengannya."
"Eh...?"
Aku tidak mengerti. Aku perlu mencerna makna dari kata-kata yang sampai ke telingaku itu, entah mengapa.
Baiklah, tenanglah, sekarang aku perlu menganalisis situasinya. Natsukawa mau aku bertemu dengan Airi-chan. Aku memang tidak tahu alasan pastinya, tetapi itu merupakan sesuatu yang dia putuskan, makanya dia datang mengobrol denganku selama di sekolah hari ini.
Tetapi, tunggu dulu… ditarik saat istirahat makan siang, dan dia mencekikku di atap, mengapa begitu? Apa karena dia tidak bisa memaafkanku bicara sesuatu yang vulgar dengan Murata dan Koga? Tetapi, tunggu dulu… pertama-tama, mengapa dia sangat peduli padaku…?
"Eh? Natsukawa, apa ini…?"
"─Pulang."
"Eh?"
"Aku mau pulang!!"
"Eh?! Ah! Tunggu! Natsukawa! Tasmu!"
Natsukawa tiba-tiba bangun. Dengan wajah yang merah merona, dia keluar dari restoran keluarga, dan meninggalkan tasnya. Iya, karena dia berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, keluarganya pasti ada di rumah saat ini, jadi aku tidak perlu khawatir dikunci dari rumahnya, tetapi…
"..."
"..."
...Aku berdiri untuk meraih lengannya dalam upaya untuk menghentikannya dan terdiam seperti itu.
Bukannya ini sangat buruk? Dari sudut pandang orang luar, saat ini, aku pasti tampak seperti cowok menyedihkan yang dicampakkan oleh pacarnya, bukan? Tidak, tunggu dulu, dengan adanya Ashida di sini, akan agak lain, bukan…? Mungkin mereka mungkin berpikir, 'Tidak mungkin, cowok ini menduakannya? Ia memang yang terburuk!'.
"…Eum, pelanggan yang terhormat?"
"Ah, kami akan pergi. Sajocchi, uangnya."
"…Oke."
Terkejut dengan situasi ini dan tidak bisa berkata apa-apa, Ashida barusan mengambil dompetku dariku, dan bersamaan dengan dompetnya dia pergi ke kasir untuk membayar. Aku di sisi lain membawakan tas semuanya seperti boneka dan mengikutinya sambil masih tercengang. Aku berusaha memahami apa yang barusan terjadi, tetapi gagal. Tampaknya, aku cuma bisa menerimanya untuk apa yang aku alami. Maksudku, kepalaku sudah kelieungan.
Aku cuma mengingat kenanganku pada saat kami meninggalkan restoran keluarga, berjalan di jalan tanpa adanya orang lain di sekitar.
"…Yang aku ingat itu Natsukawa yang sangat imut…"
"Iya, pada akhirnya kamu akan mengingat semuanya, meskipun kamu tidak mau juga."
"…Benar."
Di luar mulai gelap, jadi aku menawarkan untuk mengantarnya pulang, tetapi dia jawab, 'Kalau begitu sampai lampu jalan, ya'. Iya, apa yang aku lakukan merupakan sesuatu yang akan dilakukan oleh cowok tampan, itu benar-benar tidak seperti 'aku', tetapi mungkin tubuhku bergerak dengan sendirinya untuk melupakan depresi dan perasaan tidak enak di hatiku.
Tetapi. Sekarang aku menyadari ini… Permisi, tetapi apa aku benar-benar mesti membawakan semua ini? Terutama tas olahraga besar punya Ashida. Pasti ada bola voli di sana, bukan? Maksudku, untuk setiap langkah yang aku ambil, itu mengenai bokongku dan memantul… ...tetapi tetap saja, apa kamu biasanya membawa pulang bola voli dari sekolah?
"─Kamu pasti sudah mengetahuinya, bukan? Sajocchi."
"Mengetahui apa…?"
"Aichi itu tidak benar-benar menganggapmu menjijikkan. Dibilang begitu selama ini, meskipun itu buatmu Sajocchi, itu mulai jadi sesuatu seperti sambutan, bukan? Bukankah menurutmu begitu?"
"Dibilang begitu selama ini, aku mulai berpikir, 'Ah, jadi dia memang serius selama ini'. Dan juga, ini bukanlah bukti kalau Natsukawa tidak membenciku."
"Tepatー, Tetapi, Aichi pasti merasakan hal yang sama, loh. Kayak 'Hmm? Hmm???'."
"Ada apa dengan itu…?"
"Kamu mungkin tidak apa-apa dengan itu, Sajocchi. Paling tidak, kamu bilang apa yang mau kamu katakan. Tetapi, kamu benar-benar tidak boleh melupakan ini, apa pun yang terjadi."
"…?"
"─Iya, aku memang bilang begini sebelumnya, tetapi Sajocchi, buat Aichi, kamu sudah jadi anggota kelompok kami."
"..."
Aku sudah melihat lampu jalannya. Ashida mengambil tasnya sendiri dan juga punya Natsukawa. Ashida membanting tas olahraganya ke arahku, yang baru saja dibebaskan.
"Buat apaan itu?"
"Ini bukan soal apakah kamu merasa cukup nyaman atau tidak, kamu tahu. Selama ada seseorang yang akan menyukaimu, kamu pasti akan bahagia. Walaupun orang yang menyukaimu itu menjijikkan, dan menyebalkan, itu masih cukup untuk jadi penopang dalam menjaga kepercayaan dirimu."
"Sudah aku duga, pada akhirnya, aku ini memang menjijikkan, bukan?"
"─Meskipun itu benar, kalau seseorang tiba-tiba kehilangan tempat asalnya, mereka akan terkejut, dan cemas."
"..."
Ashida meninggalkan kata-kata ini, membanting tas itu ke arahku lagi, dan kabur. Dia pasti juga kesal, tetapi saat kami berpisah, dia menyeringai pada dirinya sendiri karena suatu alasan.
Yang paling menggangguku yaitu dia tidak pernah menyangkal saat aku bertanya apa aku menjijikkan atau tidak. Bagian dirimu itulah yang menyebalkan, Ashida.
"...Aku rasa aku mesti beli beberapa bakpao di jalan."
Itu memang malam musim panas yang segar. Gawit (widget) di layar ponsel pintarku mengatakan bahwa suhunya 27°C. Harusnya terasa panas, namun tubuhku terasa dingin tanpa keringat.
♦
Di pintu masuk, sepatu keluargaku berjejeran. Di tengah-tengahnya bahkan ada sepatu ayahku, yang sudah lama tidak dibersihkan. Aku mengeluarkan krim pembersih sepatu dari kotak sepatu, dan meletakkannya di sebelah sepatu kulitnya… ...Apa? Aku mesti membersihkannya? Tidak, aku saja tidak mau menyentuhnya.
Saat aku membuka pintu ruang tamu, aku melewati dapur dan ruang makan di sebelah kiriku, sedangkan di sebelah kanan ada sebuah televisi dan dua buah sofa. Di dalam kepalaku masih kosong ke tingkat di mana aku tidak dapat mengingat apa yang biasanya aku lakukan setelah pulang sekolah.
"Apa yang sedang kamu lakukan? Paling tidak bilang sesuatu kayak 'Aku pulang' untuk memberi tahu kami."
"Ah, iya, aku pulang..."
Ibu sedang sibuk mencuci piring, jadi aku menuju ke ruang televisi. Iya, biasanya aku cuma melempar tas sekolahku, menjatuhkan diri ke sofa, dan─
"…Kakak tidak perlu memerankan kembali apa yang Kakak katakan sore ini, Kakak tahu."
"…Berisik."
Di sofa yang membelakangi pintu masuk, sudah ada seseorang yang mengakuisisinya. Pengakuisisi itu sedang berguling-guling di atasnya, sambil memainkan ponsel pintarnya. Satu kaus kaki sudah terlepas, sedangkan kaus kaki lainnya masih bertahan di kakinya.
Kalau aku mesti menebak, 'K4' akan iri dengan posisiku saat ini karena dia sedang tidak berdaya… Aku? Aku tidak merasakan apa-apa.
Melihat si tirani yang seperti itu, aku menyadari ada sesuatu yang hilang sampai-sampai aku tidak bisa menahan seringai.
"─Maaf soal sebelumnya, Kak. Aku ngomong terlalu berlebihan.”
"Hah…? Kamu…"
Aku memberinya kantong plastik, dan setelah melihat bakpao di dalamnya, Kakak menunjukkan ekspresi yang rumit.
Apa? Kakak tidak mau memakannya? Kakak suka banget bakpao, bukan? Isilah pipi Kakak dengan bakpao favorit Kakak, yang dibeli langsung oleh adiknya Kakak, dan mainkan lagi dengan ponsel Kakak… Lihat nih, lihat, lihat.
"Ti-Tidak mau makan bakpao ini, nih?"
"…Hmmm."
Kalau dipikir-pikir, Kakak sudah makan begitu banyak, dan kalau Kakak menerima bakpao ini, Kakak pasti akan jadi semakin gemuk. Aku tidak mau melihat Kakak marah-marah dan berteriak-teriak pada timbangan. Iya sudah, kalau begitu aku akan memakannya sendiri saja.♪
"─Malahan, Kakaklah yang bertindak terlalu jauh."
"Tidak, itu…"
Woi, mengapa Kakak memberiku tatapan merasa bersalah itu. Kakak selalu melakukan apa yang aku bilang padaku, bukan?! Mengapa Kakak tiba-tiba bertingkah seperti 'Kakak biasanya tidak kayak gitu'? Woi! Jangan lempar kaus kaki Kakak ke sini!
"Jadi, apa yang kamu lakukan dengan cewek-cewek itu?"
"Bisa tidak Kakak tidak membuatnya terdengar seperti ada sesuatu yang terjadi?"
"Kamu cuma melamun saja. Pasti ada sesuatu yang terjadi, bukan?"
Uhhh…! Kakak meminta maaf, cuma untuk menginterogasiku setelah itu. Dan Kakak menyuruhku memberikan jawaban begitu saja? Iya, setelah mengkhawatirkan masa mudaku begitu, sulit sekali untuk menjawabnya, Kakak tahu…
"…Tidak tahu. Ada terlalu banyak hal, rasanya kayak kerasukan setan. Ahh, aku mau tidur lebih awal."
"Hmmm, begitu ya? Memangnya Kakak peduli."
Berhenti bilang omong kosong begitu. Kakak pasti penasaran, bukan? Kakakku ini, ya… Maksudku, Kakak bicara tidak seperti biasanya, itu mencurigakan… Tetapi tetap saja, cuma dengan berpikir kalau Kakak mengkhawatirkanku, tetapi tidak bisa mengatakannya secara langsung, aku merasa gatal di sekujur tubuhku. Apa Kakak tidak terlalu kikuk…?
"…Benar, aku punya sesuatu untuk dikatakan langsung."
"A-Apa itu…"
"Sebelum Kakak mengkhawatirkan orang lain, bagaimana kalau Kakak mengkhawatirkan diri Kakak sendiri dulu? Maksudku ini berlebihan, Kakak tahu? Ada empat orang pengurus OSIS? Sungguh? Sebagai adiknya Kakak, aku bingung mesti bereaksi bagaimana, Kakak tahu."
"Apa…?! Bukan begitu! Mereka tidak benar-benar…!"
"…Iya, mengenal Kakak, Kakak pasti akan memilih seseorang pada waktu yang tepat, tetapi aku tahu seorang cowok yang berhenti membedakan 'kenyataan' dan 'mimpi'. Makanya Kakak mungkin mesti menangani masalah ini saat Kakak masih dalam pola pikir yang benar."
Aku tidak mau melakukan sesuatu yang menyusahkan, tetapi keadaan berubah kalau itu terkait dengan keluargaku. Aku tidak mau suasana di rumahku jadi sangat tegang. Aku akan gunakan kesempatan ini untuk mengatakan semua yang aku mau.
"…Nyam!!"
"Ah…?!"
Kakak mencondongkan tubuhnya ke depan untuk menggigit bakpao yang sedang aku pegang. Terkejut, aku melepaskan bakpao itu, yang langsung menghilang di mulut Kakak.
Dasar Kakak… tirani s*alan… Apaー Bagaimana bisa mulut Kakak muat semua itu, Woi…!
"Hmm… Nyamnyamnyam!"
"Apa yang Kakak katakan, aku tidak paham sama sekali!!"
"Mmm?!"
Tepat saat secuil bakpao hendak keluar dari mulutnya, aku mengambil sederet foto dengan ponsel pintarku. Kakak pun panik dan menyembunyikan wajahnya, melarikan diri dari ruang tamu… Aku bersumpah untuk menjual foto-foto itu ke 'K4' dalam waktu dekat.
Beberapa saat setelah itu, saat aku melihat Kakak kembali ke ruang tamu sambil mengayunkan tongkat bisbol dari logam perlahan, aku benar-benar berpikir kalau aku akan mati.
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/