Yumemiru Danshi wa Genjitsushugisha [WN] - Seri 1 Bab 34 - Lintas Ninja Translation

baca-yumemiru-danshi-wa-genjitsushugisha-wn-ch-34-di-lintas-ninja-translation

Bab 34
Terhadap Sosok Itu

'Aku sudah siapkan tempatnya.'

 'Hah?'

Iya, aku memang bilang kalau aku akan 'lakukan sesuatu soal itu'? Tetapi, kamu tahu… yang aku maksud di sini yaitu dalam artian pertemuan keluarga, kamu tahu? Maksudku, aku tidak pernah berpikir kalau aku akan menghadapi Kakak mulai saat ini, kamu tahu? Meskipun itu demi dia, aku juga mesti mempersiapkan mentalku…

Dan, bukannya kamu bilang padaku kalau dia menangis? Dia mungkin bilang, 'Wataru? Tentu saja ia memang tidak populer. Aku kira Keluarga 'Sajou' akan berakhir dengan generasi ini', tanpa menunjukkan darah atau tangisan manusia, dan lalu memintaku untuk membelikan es krim 'Häagen' untuknya. Maksudku, apa kamu benar-benar mengatakan yang sebenarnya, Yūki-senpai…? ...Surga dan Dunia tidak akan segera berputar… bukan?

Menurut Yūki-senpai, Kakak ada di atap. Senpai sudah menggunakan alasan acak untuk mengirim Kakak ke sana. Atap dapat dibuka dengan hak istimewa OSIS.

Iya, Yūki-senpai bilang kalau ia bersamaan dengan Hanawa-senpai, Kai-senpai dan… Hmm?  Todoroki-senpai juga? Orang itu, apa ia cukup memahami sifat manusia agar dapat memperlakukan cewek sebagai nona muda?

"…Haah…"

Embusan napasku tidak mau berhenti.

Perkembangan ini terlalu memang cepat dan mendadak.

Bertemu dengannya merupakan hal lain tetapi, membicarakan sesuatu yang serius kayak gini membuat bagian belakang kepalaku jadi gatal.

Ini merupakan pertama kalinya aku menaiki tangga ke lantai tiga. Lantai itu sudah hampir berdebu. Karena waktu pada hari ini, lingkunganku jadi cukup gelap dan sunyi.

Biasanya siswa-siswi cuma akan naik ke atap selama kelulusan mereka. Namun, aku menemukan jejak seseorang yang sudah mendahuluiku.

"Euhh..."

Bahkan, kalaupun itu Kakak yang kurang ajar… lagipula kami ini keluarga, aku tidak mau melihat wajahnya yang sedang menangis. Biasanya ini bukan sesuatu yang mesti dialami oleh siswa SMA seusiaku, bukan? Cuma membayangkannya saja, aku sudah merasa murung.

─Makanya, mendengar soal Kakak yang menangis di suatu tempat yang bahkan tidak aku ketahui, mana mungkin aku bisa tinggal diam, bukan…?

Aku membuka pintu yang sudah berkarat itu.  Suara berderit membuatku merasa galau. Kepalaku penuh dengan keraguan dan pertanyaan.

Mengapa aku berada di sini sore-sore begini padahal tidak ikut ekstrakurikuler mana pun?  Mengapa situasinya jadi begini? Mengapa aku menuju ke atap yang aku rencanakan untuk dilihat cuma sekali saat masa kelulusanku?  Mengapa hal-hal berakhir sangat di luar norma begini?

─Semuanya, aku akan bertanya pada Kakak, yang punya kepribadian tersembunyi yang aneh yang tidak aku ketahui.

"…Kakak."

"Eh...?"

Tepat di atas atap, berdiri di sana ada Kakak dengan wajah lelahnya yang biasa.

Aku pun memanggilnya.

Dia menatapku dengan kaget dan mundur selangkah.

"Hah…? Mengapa Wataru yang ada di sini…? Renji bilang, katanya Rin yang memanggilku."

"Hm...?"

Ri-Rin…? Apa dia bicara soal 'Shinomiya Rin' itu…? Tunggu sebentar, mereka saling mengenal…? Ah, kalau dipikir-pikir lagi, mereka memang Wakil Ketua OSIS dan Ketua Komite Disiplin, jadi tidak aneh kalau mereka tidak mengenal satu sama lain.

Benar-benar cara yang terampil untuk memanggil Kakak ke sini, memang benar-benar persis seperti Hanawa-senpai. Iya, ia memang tampak seperti cowok yang jago dalam hal ini… Aku harap ia bisa gagal…

"Iya, itu karena Senpai bohong. Pokoknya, Kakak. Aku dengar Kakak menangis, ya?"

"Hah…? Apa?!"

Menurutku itu memang pembukaan yang tidak perlu. Lagipula aku mau menyelesaikan semua masalah ini secepat mungkin. Tetapi, saat aku melakukan hal itu, dia melamun sejenak, menatapku dengan bingung dan terhuyung mundur.

Reaksi ini... Tampaknya Yūki-senpai tidak bohong...

 "...Ka-Kamu…!!"

"Ketua OSIS yang baik hati yang memberi tahuku soal hal ini dengan lidahnya yang ceplas-ceplos. Iya, aku memang merasa Kakak akan merasa lebih bersalah kalau aku meninggalkan masalah ini begitu saja."

"…Apa-…!"

Adiknya mengetahui kalau dia sedang menangis. Aku penasaran apa yang dia rasakan saat ini. Karena dia selalu bersikap keras, mungkin dia tidak akan mengakuinya dengan jujur. Tetapi, bukan berarti aku akan mengikutinya seperti biasa.

"Begini, Kakak… …apa hal yang bagus soalku?  Sepuluh ─ Tidak, lima saja sudah lebih dari cukup, kok. Tolong sebutkan itu."

"Hah…? Tiba-tiba, begini, apa yang terjadi─hal-hal yang bagus…"

"Maksudku persis seperti yang aku katakan. Hal-hal yang bagus soalku. Kalau Kakak sangat khawatir soalku sampai Kakak menangis, Kakak pasti bisa menyebutkannya dengan benar."

"Ah, Eum…!"

Dibandingkan dengan sikapnya yang biasa dan percaya diri, sekarang dia tersandung kata-katanya sendiri, yang bahkan membuatku terkejut.

Aaaa… Aku takut apa yang akan terjadi nantinya.

Kakak… dia menghitung jarinya sambil menggerakkan pandangannya ke tempat itu.  Jelas kalau dia sedang mati-matian memikirkan sesuatu.

Aku sudah menyadari hal ini sejak awal, dan kalau dia tidak dapat menemukannya maka itu tidak apa-apa, tetapi aku akan bertanya mengapa dia berpikir begitu.

"Cukup, aku mengerti."

"Tung-Tunggu sebentar… Ini… kamu salah…!"

"Kalau begitu, berikutnya. Beri tahu aku sepuluh poin yang biasa saja soalku."

"Eh…?! Ah, Eumm.─"

Aku tidak berusaha mengujinya atau semacamnya. Aku cuma penasaran saja alasannya.

Dia mengkhawatirkanku…? Khawatir dialah alasan mengapa aku menyerah pada cewek yang aku cintai? Aku saja tidak merasa begitu, jadi jangan salah paham, oke? Lebih dari segalanya, itu tidak seperti Kakak.

"─Wa-Wajahmu!"

"Wajahku."

"─Tinggi badan! Kepribadian! Perawakan wajah! Kepandaian! Kekayaan!"

"Kekayaan."

"─Gaya rambut! Selera fesyen! Daya tahan! Kebersihan! Aroma! Humor! Pesona sebagai adik!"

"…"

"─STR! DEF! SPD! DEX! LUK!”

"Woi, itu tidak adil, loh…? Begitu, ya… Cukup, Sudahlah! Hentikan! Tolong hentikan saja…!"

Tunggu… Bukannya itu sudah mendekati dua puluh? Tetapi aku tidak meminta sebanyak itu?  Juga, di paruh kedua, aku tidak tahu bagaimana statistik ini dapat membantu. Apa? apa dia selalu memikirkan status pertempuran dalam kehidupan sehari-hari? Apa Kakak ini dari Ras Prajurit?!

Aku dengan panik menghentikan Kakak, lalu dia agak terengah-engah.

Hah…? Apa ke"biasasaja"anku itu tidak terbatas? Apa semelelahkan itu?

"Lihat kan… ...Kakak juga berpikir dengan cara yang sama denganku. Kalau aku cuma cowok yang biasa saja."

"Mm…!"

"Iya, itu memang benar. Aku cuma seorang cowok yang biasa saja. Itu memang kenyataan yang aku sendiri sudah terima. Dan kenyataan itu, memang apa yang selalu Kakak dan Ibu ajarkan padaku, bukan? Aku tidak bilang kalau apa yang kalian katakan itu salah. Jadi, Kakak tidak perlu khawatir sama sekali."

"..."

"Memang benar kalau aku menyerah pada banyak hal. Tetapi, itu bukan karena Kakak ataupun Ibu. Aku baru saja melihat wajah bodohku di cermin, dan meskipun aku benci mengakuinya, aku menyadari cowok macam apa aku ini, itu saja."

Malu untuk bilang begini… tetapi itu memang kenyataan. Ini cuma insiden di mana aku jadi panas sendiri dan jadi dingin sendiri. Jadi, aku tidak mengerti alasan buatnya untuk terganggu oleh itu, dan aku tidak perlu kekhawatiran apapun darinya.

"…Kakak terkejut."

"…Hah?"

"Di luar sana, mereka bilang kalau mereka akan menyerah pada orang yang mereka sukai, tetapi sebenarnya mereka tidak bisa lakukan itu. Ada seorang siswa yang jadi frustrasi karena hal itu.  Makanya, Kakak khawatir kalau kamu akan jadi seperti orang itu juga. Dan, Kakak mulai berpikir kalau mungkin Kakak sudah melakukan sesuatu yang sangat buruk padamu…"

"…Apa-apaan itu?"

Kalau begitu, mengapa? Apa semua yang aku katakan sejauh ini cuma terdengar seperti omong kosong? Bahkan hal-hal yang aku katakan di depan Natsukawa sendiri, atau di Ruang OSIS? Apa dia mengira kalau aku masih belum bisa melupakan Natsukawa, dan jauh di lubuk hatiku tidak bisa melupakannya dan bertingkah seperti bayi yang merengek-rengek?

…Hah. Apa Kakak masih sama seperti biasanya?

"Yang benar saja, deh… apa sih yang Kakak bilang. Pertama-tama, aku tidak berusaha melupakannya. Aku masih menyukainya saat ini, dan aku masih orang yang cukup bodoh sampai menganggap, 'Kalau ada kesempatan maka aku akan melakukannya'. Hanya saja, Kakak tahu… Sudah aku duga, aku cuma cowok yang biasa saja. Jadi, paling tidak aku perlu menyadarinya…"

"Te-Tetapi, alasan kamu merasa begitu... Sudah Kakak duga, itu pasti karena Kakak terlalu banyak bicara...!"

Kalau Kakak sudah menyadarinya, mengapa Kakak tidak berhenti saja?

Mengapa Kakak malah menyesalinya sekarang, yang benar saja cewek ini… Apa yang Kakak mau aku lakukan? Apa Kakak akan merasa lebih baikan kalau Aku membelikan beberapa bakpao untuk Kakak? Baiklah, di toserba, dari baris pertama sampai terakhir, aku akan belikan seluruh stok yang mereka punya…! Apa dua ribu yen* sudah cukup…?

(TL Note: Sekitar 209.406 rupiah per Juni 2023.)

"Persis seperti yang sudah aku bilang, bukan begitu─."

"De-Dengarkan."

"Apa?"

"Kakak sering berbicara buruk soalmu, tetapi Kalak tidak serius sama sekali. Jadilah sedikit lebih percaya diri. Meskipun kamu sadar jadi 'biasa saja', itu bukan berarti kamu mesti menyerah begitu saja pada cewek yang kamu cintai selama ini."

"Hah…?"

Dia terdengar seperti sedang mencoba membujukku. Tepat saat aku penasaran apa yang akan dia katakan, dia mulai mengatakan omong kosong untuk lari dari masalah ini. Tetapi, ini sudah terlambat… kedengarannya seperti alasan.

Hah…?  Memangnya mengapa? Mengapa dia bilang begitu sekarang? Bukannya ini sudah agak terlambat? Aku kira aku sudah menjelaskan padanya kalau dia juga tidak salah.  Meskipun begitu, mengapa dia menyangkalnya sekarang? Yang benar saja, deh, segala hal memalukan itu sebelumnya, kalau begitu untuk apa?

"Itu hmm… Kakak akan memperbaiki diri Kakak sendiri. Kakak tidak akan mengolok-olokmu lagi, dan Kakak akan berhenti bilang sesuatu yang tidak masuk akal. Jadi, tidak perlu meremehkan dirimu sendiri kayak─."

"Bisakah Kakak berhenti bicara, 'Dasar Kakak s*alan'."

"A-Apa…?!"

Aku rasa aku belum pernah sekesal ini sebelumnya.

Kalau aku dipaksa untuk diam lebih lama lagi dari itu, aku mungkin akan mencekik lehernya.

"Memperbaiki? Memperbaiki untuk apa? Cuma karena Kakak berhenti menghinaku dan berhenti melakukan kekerasan, menurut Kakak apa aku akan jauh lebih percaya diri?"

"Bukan begitu yang…!"

"Apa Kakak juga mau merenungkan itu? Apa?  Menjadi Kakak yang baik saat ini? Siapa itu?  Aku tidak pernah punya Kakak yang 'cantik' dan baik padaku."

 "...!"

Hubungan yang kami bangun sampai saat ini… Memang benar kalau dia mungkin kasar padaku, tetapi itu sendiri memuaskan. Itu karena tidak lain tidak tidak bukan karena, 'Kami itu adik-kakak'. Sebuah hubungan di mana kami tidak perlu cuek atau perhatian satu sama lain, di mana kami dapat merasa nyaman satu sama lain… Dan saat ini, Kakak bilang kalau Kakak mau menghancurkan semua itu? Berhenti main-main denganku.

Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/

←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama