Catatan Author:
Selamat Tahun Baru. Terima kasih karena masih senantiasa mendukungku di tahun 2023.
Mari kita lanjutkan.
Bab 197Langit Musim Gugur
Keesokan harinya setelah kejadian hari itu, yang merupakan suatu penderitaan demi penderitaan, dimulai dengan rasa malasku untuk bangun. Aku bangun di pagi hari dengan bermandikan keringat karena demam yang disebabkan oleh cederaku, dan aku mesti mandi di malam hari, yang merupakan tugas yang sulit bahkan buatku. Aku menghabiskan semua tenagaku di pagi hari, mengisi perutku dengan semangkuk bubur nasi yang Ibu masakan buatku, meminum obat penghilang rasa nyeri dan antipiretik, tertidur karena efek sampingnya dan terbangun setelah tidur lagi, dan beginilah keseharianku hari ini.
"Ah, apa itu ya...?"
Di atas ranjang, aku bergumam samar-samar dengan mata mengantuk. Sejak aku masuk SMA, aku pernah pingsan di sekolah saat musim dingin, dan aku cedera parah saat musim gugur, itulah yang membuatku tidak sehat. Itu sangat aneh... ...karena tubuhku itu bagaikan zombi berspesifikasi tinggi yang telah bangkit kembali berkali-kali dari gerakan gulat Kakak yang tidak masuk akal dan sangat kuat sehingga bahkan sudah menguasai teknik menyegel gerakannya.
"Eum...?"
Ponsel pintarku bergetar. Aku memang sudah meletakkannya di bawah bantal sejak aku bangun.
Saat ini waktu sudah menunjukkan sore hari. Saat aku mulai membuka ponsel pintarku, sudah ada hampir dua puluh notifikasi pesan yang terkumpul. Kemarin kelasku mengadakan pesta pembubaran dan ada pembaruan dari grup yang tidak ada hubungannya denganku. Saat aku membuka aplikasi perpesanan, aku mendapati bahwa aku sudah menerima pesan dari beberapa orang yang ditujukan padaku secara pribadi.
[Karena kamu pasti mau melihatnya. Jadi jaga dirimu, ya.]
"Ah..."
Dari Īhoshi-san, si Ketua Kelas, ada sebuah video dari sesi karaoke. Saat aku memutarnya lagi, tampak Natsukawa yang sedang bernyanyi dengan kedua tangannya memegang mikrofon. Ini dia, inilah yang selama ini aku cari. Saat ini, aku bisa melawan Kakak lagi...!
[Dengarkan, jangan lupa bilang terima kasih padaku, ya.]
"Di sini ada juga..."
Video serupa juga datang dari Yamazaki. Kali ini, bukan cuma ada Natsukawa, tetapi Ashida juga ada di dalam video itu. Bagaimanapun juga, ia itu temanku. ...! Ia sudah melakukan tugas terbaik yang pernah ia lakukan sejak aku mengenalnya. Aku akan mentraktirnya minuman lain kali.
"...Hah?"
Dan sekarang juga ada dari Matsuda. Kami memang punya hubungan yang datar, cuma duduk berdekatan satu sama lain dan hampir tidak pernah mengobrol, tetapi entah mengapa ia mengirimiku video Natsukawa bernyanyi. Itu merupakan video dari sudut pandang yang berbeda dari dua video sebelumnya. Ia sudah bersusah payah mendaftar sebagai teman dan mengirimkannya padaku secara pribadi, dan aku tidak yakin apakah ia peduli atau tidak. ...Ia cowok yang baik.
Lalu ada Yasuda, Iwata, Ogami dan beberapa cewek yang juga mengirimiku video Natsukawa bernyanyi... hei, kalian? Apa kalian benar-benar merekam video ini cuma karena kebaikan hati kalian? Entah bagaimana, aku dapat merasakan rasa rendah diri kalian dari video itu? Apa kalian tidak punya video dari sudut pandang rendah?
Aku merasa kayak mereka mengirimiku pesan diam-diam, dan aku tahu kalau mereka sangat peduli padaku, sama halnya dengan Matsuda. ...Bagaimana rasanya punya sidik jari yang lengket di layar ponsel pintarku?
"...!"
Saat aku melihat pengirim pesan lain dengan niat membunuh, sebuah nama menarik perhatianku. Nama yang tertera yaitu Ichinose Yū. Beliau itu abangnya Ichinose-san, alias Beruang-san-senpai.
[Dia sudah tenang saat ini. Ada baiknya kalau kamu dapat menghubunginya kalau kamu ada waktu.]
"..."
Kata-kata beliau membuatnya terdengar agak putus asa karena suatu hal. Kata-katanya tampak kayak kata-kata seorang abang, bukan kata-kata seorang senpai. Ini menunjukkan kalau beliau peduli pada adiknya.
Tadi malam, setelah menyelesaikan teleponku dengan Natsukawa, aku mengirim pesan pada Ichinose-san dan bilang kalau aku minta maaf karena aku sudah membuatnya khawatir. Tidak lama berselang setelah itu, aku mendapatkan panggilan masuk dari Ichinose-san, tetapi kami hampir tidak dapat saling mengobrol satu sama lain. Yang dapat aku dengar dari ujung telepon cuma suara Ichinose-san yang terbata-bata dan bicara dalam keadaan menangis dan samar. Jujur saja, aku tidak dapat mendengarnya sama sekali.
"Aku tidak menyangka kalau dia akan menangis karena hal itu...."
Aku mengirimkan pesan pada abangnya Ichinose-san, seorang senpai dan kolega dan beliau menanggapinya. Menurutnya, Ichinose-san sangat terkejut dan khawatir dengan kabar cederaku. Aku sangat terkejut dengan situasi yang tidak terduga ini. Dia bilang ke Natsukawa kalau dia itu punya sif di pekerjaan paruh waktu, mungkin saja merupakan kebohongan, karena itu berbeda dengan sif yang diceritakan Ichinose-san padaku sebelumnya.
"...Hah?"
Dengan agak gugup, aku menulis pesan pada Ichinose-san, [Halo, apa tidak apa-apa kalau kita teleponan sekarang?] Aku bertanya. Lalu setelah sekitar satu menit, dia menjawab [Iya.]. Aku membalas, [Oke, aku akan meneleponmu.] dan menekan tombol panggil. Aku mendengar nada yang tidak asing lagi, lalu terdengar bunyi ping, dan sadar kalau panggilan kami sudah terhubung.
"Eum, ...sudah lumayan lama sekali sejak kita teleponan kemarin, ya, Ichinose-san?"
[...Ha-Halo.]
"Apa kamu sudah baikan sekarang?"
[I-Iya...]
Ichinose-san bicara padaku sepelan mungkin. Dia melakukan hal yang sama kayak saat aku pertama kali mulai berkomunikasi dengannya pada awalnya, saat kami baru saja mulai bekerja bersama-sama sebagai sesama pekerja paruh waktu di toko buku bekas. Rasanya kayak nostalgia. Suara yang kembali seakan-akan merupakan panggilan untuk membangunkanku dari tidurku.
"Begini, maafkan aku, ya? Karena kayaknya aku telah membuatmu khawatir."
[Ti-Tidak, akulah yang mestinya minta maaf... ...aku tidak bisa bilang apa-apa padamu...]
"Ini salahku, karena aku cedera, jadi kamu tidak usah khawatir soal itu, oke?"
[...]
"Begini, tidak bisakah kita bicara saja...?"
Suasana canggung terdengar dari ujung panggilan telepon ini. Seakan-akan kami kembali ke masa saat kami akhirnya mulai berkomunikasi saat bekerja paruh waktu. Kami memang tidak terlalu dekat untuk dapat dibilang kalau kami merasa nyaman, tetapi sampai batas tertentu, kami mestinya sudah kehilangan rasa canggung.
Menghancurkan rasa malunya dengan rasa maluku tidak akan membuat hubungan kami mendekat. Jadi, aku mengambil langkah maju, bersiap-siap buat konsekuensinya.
"Aku senang karena kamu khawatir padaku, sih... ...Apa itu... ...sudah cukup untuk membuatmu menangis?"
[...!?]
Aku bertanya padanya dengan cara yang agak main-main, tetapi tanpa nuansa untuk menggodanya. Dengan begini, aku dapat mengetahui niat Ichinose-san yang sebenarnya. Aku tidak boleh sampai salah tangkap.
[...Apa cederamu itu sudah baik-baik saja?]
"Eum, aku sudah baik-baik saja, loh!"
Topik obrolan ini tiba-tiba beralih, dan aku tidak sengaja terkejut. Walaupun aku agak kebingungan, tetapi aku cuma menjawab kalau aku baik-baik saja dan berusaha untuk tetap tegar. Pada kenyataannya, aku sedang berjuang dalam beberapa aspek kehidupan sehari-hari, tetapi aku juga seorang cowok. Aku tidak mau mengeluhkan hal itu pada seorang cewek.
[—Cuma itu saja... ...Itulah yang tidak dapat... ...aku sampaikan padamu kemarin.]
"Eh?"
[Maafkan aku.]
Sebuah tanda tanya tiba-tiba muncul dalam benakku. Tidak ada yang salah dari Ichinose-san. Apa Ichinose-san, yang bukan pihak yang terlibat dalam peristiwa itu, peduli atau tidak peduli pada cederaku, itu terserah pada Ichinose-san. Jujur saja, aku tidak merasa tidak enak karena disapa dengan ucapan [Selamat pagi.] di akhir liburan tanpa pikir panjang. Bukan berarti aku berteman dengan Ichinose-san cuma sebatas imbalan atas kebaikannya. Ini bukanlah soal persahabatan ataupun ikatan lainnya.
"Kamu itu baik sekali, ya, Ichinose-san."
[—Bu-Bukan begitu...!]
"Eh?"
Terkejut dengan penyangkalan yang tidak terduga itu, aku bertanya padanya. Aku tahu kebaikan hati Ichinose-san dari caranya mengatasi masalah buku-buku. Kadang-kadang hal itu mungkin berubah bentuk jadi kelemahan, tetapi tanpa kebaikan itu, Ichinose-san tidak akan ada di posisinya saat ini. Ini merupakan unsur penting yang telah membentuk sikap Ichinose-san. Mungkin kurang meyakinkan dan tidak masuk akal buat dibilang kalau Ichinose-san tidak punya kebaikan itu sekarang.
[Saat aku pertama kali mendengar kalau Sajou-kun dilarikan ke rumah sakit, aku sangat kecewa. 'Janji untuk kita belanja bersama besok pasti akan dibatalkan.' pikirku.]
"..."
[Aku benci pada diriku sendiri karena aku cuma dapat memikirkan soal diriku sendiri kayak gitu. ...Walaupun aku berusaha buat menelepon Sajou-kun, tetapi aku bingung mesti bilang apa atau kapan aku mesti bilang itu padamu....]
"Eum, Ichinose-san..."
[Aku mau sekali menjengukmu, tetapi aku tidak tahu di rumah sakit mana kamu dilarikan... ...atau di mana rumahmu... ...dan aku tidak tahu apa-apa soalmu, ...Aku tidak tahu apa-apa soal Sajou-kun...!]
"Ichinose-san!"
[Maafkan aku...! Maafkan aku, aku tidak dapat berbuat apa-apa....!]
(TL Note: Baik amat lu Mbak, saya doakan semoga berjodoh, hihi.)
"..."
(TL Note: MC, kurang baik apa cewek yang satu ini, segera tinggalkan si Tsundere gaje itu, dan mending sama yang ini aja.)
Apa yang terdengar kayak jeritan itu merupakan emosi Ichinose-san yang kacau. Malahan, aku rasa itulah yang terjadi. Dia tidak bisa menjelaskan perasaannya, dia tidak tahu apa yang mesti dia lakukan, dan dia merasa kalau dia tidak berdaya. Hal ini terutama terjadi kalau kita ada dalam dilema antara perasaan egois dan perhatian pada orang lain. Aku juga pernah merasakan rasa frustrasi yang serupa. Aku ingat yang dapat aku lakukan saat itu cuma menundukkan kepalaku.
Meskipun begitu, Ichinose-san menuangkan perasaan itu ke dalam kata-kata dan menyampaikannya padaku. Jujur saja, aku rasa itu luar biasa. Kalau kita canggung, kita tidak akan dapat mengungkapkan perasaan kita ke dalam kata-kata. Sebaliknya, kalau kita cekatan, kita berusaha mencernanya di dalam diri kita. Itu pasti sangat, sangat sulit.
"Aku senang, senang sekali."
[...Eh...?]
"Ternyata, kamu sangat menantikan kencan kita hari ini, ya?"
[Eh...!? Ah...!]
Biasanya, ini akan jadi momen buat menerima kalau hal ini bukanlah kencan. Kekuatan serangan yang terkandung dalam satu kata yang dilontarkan Natsukawa itu begitu besar sampai-sampai menyebabkan kerusakan terus menerus pada hatiku sampai sekarang dan aku hampir muntah. Tetapi air mata Ichinose-san berlinang dan mengungkapkan [Aku mau kita pergi berkencan!] Wah! (*Dia tidak bilang begitu)", dadaku terasa hangat. Aku yakin besok tangan kiriku akan sembuh kayak lelucon dalam manga.
"Bukankah benar begitu?"
[Tidak, bukan kayak begitu. Itu tidak sepenuhnya benar, sih...!]
"Aku pasti akan menebusnya, aku janji."
[Iya...]
"Maka dari itu — maafkan aku soal hari ini. Sekarang biarkan aku istirahat sebentar, oke."
[I-Iya...]
Pada akhirnya, akulah yang mesti membatalkan kencan itu. Apa benaran boleh aku menunda kencan dengan cewek yang sebaik dia sebagai temannya? Mungkin Ichinose-san itu cewek yang cukup baik kalau ini bukan karena hubungan kerja....?
"Sampai jumpa besok di sekolah."
[I-Iya, ...Sampai jumpa lagi.]
"Kalau begitu, dah."
Setelah bilang begitu dan jeda singkat, aku menutup panggilan telepon itu.
Aku merasa baik-baik saja saat ini. Aku merasa kasihan pada Ichinose-san, yang masih terdengar gelisah, tetapi aku merasa sangat tenang sampai-sampai aku melupakan rasa sakit yang ada di tangan kiriku. Itu mungkin cuma efek samping dari obat, atau semacamnya. Aku dapat bermimpi indah sekarang, dan agar cepat sembuh, aku akan tidur siang sekali lagi — Eh?
"..."
"...Selamat sore."
"...Ah, eum, selamat sore."
Ponsel pintar di tanganku jatuh ke bawah di sekitar bagian ketiak kaus biru lautku, dan tenggorokanku akhirnya bergerak karena benturan itu. Namun, sebelum aku dapat melanjutkan kata-kataku, sang komentator — Natsukawa, yang melangkah masuk dari pintu masuk kamar, meletakkan sesuatu yang tampak seperti tas ramah lingkungan yang dibawa di tangan kanannya di atas meja di samping ranjang dengan ekspresi kosong di wajahnya.
"Natsukawa, mengapa kamu ada di sini...?"
"Ini... ...kunjungan dariku."
"Iya, terima kasih. ...Ah, kamu tidak perlu sampai segitunya."
Dari dalam tas ramah lingkungan itu, ada puding biasa, minuman isotonik, jus sayuran kotak, dan onigiri — Onigiri! Yang dibungkus dengan bungkus plastik! Apa onigiri itu buatan tangan Natsukawa!?
"Eum, ini..."
Entah ini mimpi atau kenyataan, saat aku mencoba memastikan siapa yang membuat onigiri ini, tatapan mataku yang mengembara secara bergantian dan Natsukawa, yang kayaknya bukan Dewi Komentar, dan saat aku mencoba memastikan siapa yang memegang tanganku, aku perlahan merasakan panas menyebar ke tangan kiriku.
"Ini..."
"Na-Natsukawa...?"
Natsukawa, yang tidak mau mengangkat tangannya dan membungkus tangan kiriku dengan kedua tangannya, lalu dia mendongak dan menatap ke atas dengan penuh kesakitan ke bagian tubuhku yang sakit, dan diwarnai dengan warna merah. Tidak perlu dikatakan lagi, kehebatan perawatan ini begitu luar biasa sehingga sulit untuk melihatnya dari sudut pandang orang lain, karena diperlakukan dengan cara yang tidak biasa. Aku merasa kalau regenerasi kulitku dapat dipercepat cuma dengan tatapan Natsukawa saja.
"...Apa kamu terasa sakit?"
"Iya, ...bahkan dengan obat penghilang rasa sakit, masih terasa sedikit sakit."
"...Kamu itu ceroboh ya."
"Tidak. Sungguh. Aku kurang percaya diri kadang-kadang...."
Maafkan aku karena memanggilmu penyerbu. Kamu itu seorang Dewi. Aku akan terus mengagungkanmu selama sisa hidupku. Iya, mari sama-sama kita hiasi altar di kamar kita. Mari kita berdoa setiap hari dengan onigiri ini sebagai benda suci kita, dan dengan kekuatan supranaturalku untuk mewujudkan Natsukawa akan selamanya menjadi nomor satu dalam ramalan zodiak. Bersukacitalah, para manusia yang lahir di bulan Oktober dari seluruh negeri.
"Maafkan... ...aku."
"Hah...?"
"Jaga dirimu, ya."
"Tunggu, Natsukawa?!"
Natsukawa segera meninggalkan kamarku dengan tas ramah lingkungan yang sudah kosong di tangannya. Sebelum aku sempat mengulur waktu untuk mengejarnya, aku mendengar suara langkah kaki menuruni tangga. Peristiwa ini begitu cepat sampai-sampai tidak ada waktu untuk mengejarnya.
"...'Maafkan aku.', ya?"
Apa dia masih menyangkal itu sebagai "kencan"? Terlepas dari itu, ...itu merupakan ekspresi dan nada suara yang terlalu rapuh. Aku rasa itu belum cukup untuk membuat Natsukawa menderita. Kalau memang begitu, untuk apa sebenarnya dia meminta maaf?
[─Maafkan aku. Saat ini... aku tidak tertarik pada hal-hal kayak cinta-cintaan....]
"...Fufu, aku sudah terbiasa dengan kata-kata ini."
Berapa kali aku mesti mendengar kata-kata itu? Berapa kali aku memaksa Natsukawa untuk menunjukkan ekspresi sedih kayak gitu?
Hatiku yang bergoyang, berubah dan bergeser. Saat satu hal aku pahami, misteri lainnya menjadi semakin dalam. Menimbulkan cedera atas nama seseorang yang tidak gunanya untuk membantuku melihat langit musim gugur.
Author Note:
【Informasi Kampanye】
Untuk memperingati siaran serial anime pada tahun 2023, panitia produksi anime "Yumemiru Danshi wa Genjitsushugisha" mengadakan kampanye hadiah Tahun Baru di mana 100 orang akan memenangkan kartu QUO asli senilai 500 yen melalui undian! Silakan bergabung dengan kami!
Tenggat: Minggu, 22 Januari 2023
https://yumemirudanshi.com/news/2023/01/01/
Translator Note:
Apa kabar semuanya? Bagaimana rasanya menunggu selama 2 bulan. Admin mohon maaf karena baru bisa lanjut hari ini setelah ditinggal KKN sama Admin. Banyak sekali pengalaman yang Mimin dapatkan dari KKN, salah satunya dari aspek bahasa, Mimin mendapatkan bahasa daerah yang baru. Oke kesampingkan KKN Mimin, mulai Minggu ini, rencananya kita bakal lanjutkan penerjemahan novel ini dan novel Shimotsuki-san wa Mob ga Suki, mudah-mudahan berjalan lancar. Dan bagi kalian yang ingin berdonasi demi kelancaran penerjemahan novel kesayangan kalian, dapat dilakukan melalui link berikut https://trakteer.id/lintasninja/
Dan, tambahan lagi, hari ini Admin kita sedang berulang tahun yang ke-21. Jadi penerjemahan ini merupakan persembahan ulang tahun dari Admin.
Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F
Baca juga dalam bahasa lain: