Bab 1
Penyangkalan
(Bagian 1)
Akane berdiri di depan pintu masuk rumahnya. Sampai saat ini, Akane selalu melihat Saito sebagai cowok yang paling dia benci, jadi tinggal bersama dengannya itu agak bisa diatur buatnya. Namun, sekarang Akane sudah menyadari bagaimana perasaannya yang sesungguhnya, dan ini sangat memalukan. Dan ya, mengerikan. Akane bahkan tidak tahu wajah macam apa yang mesti dia pasang ketika bertemu dengan Saito, sampai ke titik di mana dia terdiam karena khawatir kalau dia mungkin akan melakukan sesuatu yang canggung. Bahkan, dia punya firasat yang sudah terjadi akhir-akhir ini. Karena Akane tidak pernah punya pengalaman dalam urusan cinta, situasi menikah dengan cowok yang dia dicintai dan bahkan tinggal bersama dengannya terlalu menggairahkan buatnya.
—Tenanglah…Aku cuma mesti bersikap sama seperti biasanya. Ia itu makhluk hijau. Dan karena ia itu makhluk hijau, ia itu bukan manusia. Aku tidak punya alasan untuk mengkhawatirkannya.
Sebuah pemikiran yang kasar terlintas dalam benak Akane, yang dia gunakan untuk menenangkan dirinya. Menarik napas dalam-dalam lalu, Akane membuka pintu depan.
"Oh, selamat datang kembali."
Saito yang setengah telanjang berdiri di lorong, meminum protein kocok. Saito mengenakan handuk yang dililit di pinggangnya, yang masih sedikit basah selesai mandi yang mungkin ia lakukan beberapa saat sebelumnya, bertindak laksana kakek-kakek di pemandian air panas.
"Apa sih yang kamu lakukan ini?!" Akane seketika menutupi matanya dengan tas sekolahnya.
"Minum protein kocok?" Saito dengan blak-blakan menjawab.
"Kalau soal itu aku juga tahu! Yang aku tanyakan padamu itu mengapa kamu telanjang!"
"Karena aku perlahan akan menyatu dengan Ibu Pertiwi?"
"Kita berada di dalam rumah buatan manusia! Mana ada Ibu Pertiwi di sini!"
Saito menghela napas.
"Ini kan rumahku, jadi aku bebas melakukan apapun yang aku mau. Lagipula tidak ada yang melihat juga."
"Aku dipaksa untuk melihat keadaan tepat pada saat ini!"
"Kamu sudah pernah melihatku mengenakan pakaian lebih minim lagi di kolam renang dan selama jam pelajaran renang, bukan?"
"Mungkin, tetapi tetap saja!"
Karena Akane saat ini sadar sepenuhnya akan Saito sebagai cowok, cara Akane melihat segala hal sudah berubah sepenuhnya. Selain itu, cuma ada mereka berdua saat ini, jadi tentu saja, jantung Akane berdebar kencang.
—Juga…Saito itu cukup berotot…
Akane tidak bisa menahan keinginan untuk mengintip fisik Saito, lalu Akane mengingat saat Saito menggendongnya ke rumah sakit.
"…Ingin melihat lebih banyak?"
Saito bertanya pada Akane dengan nada ragu, yang sekali lagi Akane bersembunyi di balik tas sekolahnya. Akane merasakan wajahnya memanas seperti terbakar, lalu dia meraung marah.
"Tidak terima kasih! Pakai baju sana, kalau tidak, aku akan mengupas kulitmu!"
"Dimengerti!" Saito berlari menaiki tangga seperti kelinci yang ketakutan.
Akane ditinggal, berjongkok di lantai sambil memegangi kepalanya.
–Aku melakukannya lagi…
Akane tidak bermaksud untuk mengancam Saito, tetapi saat pertengkaran biasa mereka sudah pecah, Akane mendapati dirinya kembali ke pola pikir yang sama. Karena mereka itu musuh bebuyutan belum lama ini, sulit untuk beralih ke menerima bahwa Akane saat ini ada rasa dengan Saito. Apalagi kata-kata Akane yang keluar lebih cepat dari yang bisa dia pikirkan. Kalau Akane terus begini, dia tidak akan pernah bisa menang melawan saingan cintanya, Himari. Tidak diragukan lagi, Saito melihat Akane sebagai seorang asasin, seorang pembunuh berdarah dingin, atau bahkan mungkin Ratu Iblis yang bereinkarnasi.
Akane menjatuhkan bahunya karena kekalahan saat dia naik ke lantai dua sendirian, meletakkan tas sekolahnya ke ruang belajar pribadinya. Akane kembali turun ke toilet lalu dia mendapati Saito sedang berdiri di ruang cuci, dilengkapi dengan mesin cuci, pengering, dan beberapa rak. Saito saat ini sedang sibuk mengeluarkan cucian dari keranjang.
"Ap-Apa yang kamu lakukan?"
"Aku akan mencuci pakaian... Kita sudah menyelesaikan banyak cucian sekarang."
"Kamu akan bermain-main dengan pakaian dalamku?!"
"Maksudku, bukankah kita selalu bergantian?"
"Bukan itu masalahnya di sini, orang mesum!"
"Kok bisa aku disebut orang mesum?!"
Bahkan saat mereka bertengkar lagi, Saito terus mengambil lebih banyak pakaian dalam. Kalau dibiarkan terus, Saito akhirnya akan mengambil bra dan celana dalam Akane. Itu adalah pertarungan melawan waktu. Melihat tidak ada pilihan lain, Akane merebut keranjang itu dari Saito.
"Kamu itu mesum! Ka-Kamu mungkin mau menggunakan ini sebagai alasan untuk mengenakan pakaian dalamku, mengingatnya di kepalamu, dan me-memakannya, bukan?!"
"Aku tidak punya sifat yang memungkinkanku untuk mencerna kain!"
"Pembohong! Kamu itu monster yang dengan santai mengunyah pakaian cewek manapun semaumu!"
"Aku tidak akan menjadi monster dan apalagi yang seperti binatang buas yang putus asa."
"Kamu tidak usah mencuci pakaian! Biar aku saja yang menanganinya!"
"Maksudku, aku tidak akan menghentikanmu kalau kamu bersikeras begitu…" Saito tampak sedikit terganggu tetapi dengan tenang meninggalkan ruang cuci.
Ini membuat Akane menghela napas lega. Akane meletakkan semua pakaian dalam ke lantai dan mulai memisahkannya lalu dia menyadari ada masalah lain timbul.
—Tunggu, jadi sekarang aku mesti mencuci pakaian dalam Saito?!
Memikirkan Saito melihat pakaian dalamnya mendorong Akane untuk mengambil keranjang cucian itu dari Saito, tetapi sekarang setelah pikiran Akane mulai terkendali lagi, dia menyadari kalau dia memojokkan dirinya sendiri dan sekarang terpaksa mencuci pakaian dalam Saito untuknya, juga.
—Jadi kami berdua saling menyentuh pakaian dalam kami berdua sampai saat ini?! Kami berdua itu orang-orang mesum!
Akane membenamkan wajahnya dengan handuk lalu dia mengerang untuk mengatasi rasa malunya. Akane selalu bertingkah seperti ini, dia tidak pernah menyadarinya.
—Te-Tetapi...Aku mesti melakukannya. Bagaimanapun, kami tinggal bersama... Dan memisahkan pakaian dalam itu akan terlalu merepotkan...
Akane menguatkan tekadnya dan mengeluarkan pakaian dalam Saito dari keranjang. Akane berkata pada dalam hati kalau dia melakukan apa yang dia perlu, mencoba untuk menghilangkan rasa malunya. Akane mengambil pakaian dalam dengan anggun seperti sedang menjinakkan bom, saat dia meletakkannya di gantungan. Begitu juga untuk kaus kaki, celana, dan kemeja Saito.
—Itu membuatku ingat... Karena kami mencuci pakaian bersama-sama, itu berarti keringatku bercampur dengan keringat Saito setiap kali kami memasukkan pakaian-pakaian kami ke keranjang cucian! Dan kami lalu mengenakan pakaian itu lagi?! Kami benar-benar mesum!
Akane menyadari aspek penting lain yang tidak dia perhatikan sebelumnya. Dengan mencuci pakaian secara aktif, sebagian besar keringat akan dikeluarkan dari pakaian itu, tetapi itu bukanlah proses yang sempurna. Gen mereka menempel pada pakaian orang lain. Dan semakin Akane memikirkannya, semakin dia menderita kesakitan. Hal yang sama juga berlaku untuk mangkuk dan cangkir. Mereka tidak secara ketat membatasi penggunaannya untuk satu orang, jadi sebagian air liur mereka masih menempel pada benda. Di satu sisi, itu bahkan bisa disebut sebagai ciuman tidak langsung. Mata Akane mulai berputar karena dia tidak bisa menangani situasi ini lalu Saito mengintip ke dalam ruang cuci.
"Oh, ngomong-ngomong, aku sudah meninggalkan air di bak mandi, jadi kamu bisa menggunakannya setelah selesai mencuci."
"Kamu menyuruhku untuk menggunakan air mandi yang sama denganmu?!" Akane dengan erat memeluk kemeja Saito lalu dia terhuyung mundur ke dinding.
"Bukankah kamu selalu melakukan itu?"
"Aku akan menuntutmu atas pelecehan seksual!"
"Pengacaraku akan mengalahkanmu dalam pemeriksaan silang, jadi aku menantangmu. Dan juga, memangnya mengapa? Keluarga normal selalu menggunakan air mandi yang sama, bukan?"
"Kalau aku menggunakan air mandi yang sama dengan yang kamu gunakan, itu sama saja dengan kita saling berpelukan sambil telanjang!"
"Bagaimana ya, itu bisa dibilang masuk akal juga, sih?!" Telinga Saito memerah.
"Itu benar! Itu akan sama saja dengan kita melakukan hal-hal mesum!"
"Tidak benar sedikitpun?! Lalu bagaimana dengan pemandian air panas, hah?"
"Itu...itu akan seperti aktivitas kelompok...besar..."
"Baiklah, aku mengerti. Pemikiran itu benar-benar membuatku takut, jadi mari kita hentikan di sini saja." Saito menarik rem. "Kalau kamu sangat membenci ide itu, maka aku akan memanaskan air yang baru saja."
Akane melihat Saito berjalan melewatinya, lalu rasa sakit yang tajam menjalari dadanya.
"Ka-Kamu tidak perlu melakukannya…Aku tidak benar-benar membenci ide itu, malahan aku sangat senang…" Akane baru saja menyelesaikan kalimatnya lalu dia menyadari apa yang barusan dia katakan dan membenturkan kepalanya ke dinding.
"Akane?! Ada apa?!" Saito menyuarakan keprihatinan yang tulus.
"Tidak ada apa-apa kok… aku cuma merasa seperti sudah cocok dengan dinding ini, di sebelah sini…"
"Aku rasa tengkorak seseorang tidak bisa mengalahkan dinding beton yang kokoh."
"Tengkorakku bisa." Akane tersenyum.
"Tetapi dahimu berdarah."
"Ini medali kemenanganku."
"Benarkah..."
Saito memberi Akane tatapan hangat, kemungkinan besar menyadari bahwa tidak ada lagi yang dapat ia katakan, dan berjalan pergi...Atau lebih tepatnya, sepertinya Saito mencoba untuk melarikan diri.
—Saito pasti mengira kalau aku cewek yang aneh sekarang!
Jari-jari Akane gemetaran saat ia menggantung pakaian Saito agar kering. Tindakannya sama sekali tidak menyambung dengan pikirannya, hari ini. Akane akhirnya menyadari bagaimana perasaannya selama ini, tetapi sepertinya jarak antara mereka berdua semakin jauh.
"Aku harus melakukan sesuatu… dan cepat." Akane menurunkan tubuhnya ke dalam air mandi hangat saat dia bergumam di dalam hati.
Ini merupakan air mandi yang sama yang digunakan Saito belum lama ini. Akane cuma tidak ingin membuang-buang uang untuk tagihan gas, itulah sebabnya dia buru-buru mandi setelah Saito. Tidak ada motif tersembunyi yang ditemukan dalam tindakan Akane. Namun kebenarannya sejelas hari ini, serta fakta kalau Akane akan membawa pengacara yang mengerikan mungkin akan dihancurkan dan dipanggang oleh seorang saksi. Buktinya yaitu fakta bahwa tubuh Akane semakin memanas semakin dia memikirkannya. Dan Akane tahu betul bahwa panas ini bukan cuma berasal dari air panas.
Paling tidak, Akane ingin memasak makan malam yang lezat dan membuat Saito bahagia begitu. Itu seharusnya memungkinkan Akane untuk menebus banyak kesalahan yang dia buat sampai saat ini. Dengan tekad yang baru ditemukan, Akane keluar dari bak mandi, mengeringkan tubuh dan rambutnya, dan menambahkan sedikit mekap di wajahnya, serta beberapa kilap bibir (lip gloss). Akane sangat sadar kalau perhatian sebanyak ini tidak wajar, tetapi fakta bahwa dia merasa malu hilang dengan cepat karena kegembiraannya.
Lagipula, Akane akhirnya dapat merasakan seperti apa cinta itu sebenarnya, dan mengapa semua cewek di dunia ini menjadi gila. Setelah pernikahan terpaksa, Akane beranggapan kalau dia tidak akan pernah terlibat dengan cinta sejati semacam ini, tetapi sekarang dia menemukan seseorang yang dia sukai, dan dia bahkan menikah dengannya. Kalau bukan karena desakan konyol dari neneknya ini, Akane mungkin tidak akan pernah menyadari perasaannya, dan mereka akan menjadi musuh bebuyutan sampai sekarang.
"…Aku mesti berusaha keras." Akane menepukkan tangan ke pipinya dan melangkah keluar dari ruang ganti.
←Sebelumnya Daftar Isi Selanjutnya→