Bab 1Saingan(Bagian 1)
Merupakan kebiasaan bagi Saito untuk membaca buku sebelum tidur. Ketika ia membolak-balik halaman di tengah-tengah keheningan yang seutuhnya, jauh dari kekacauan sehari-hari, rasanya kesadaran Saito seperti tersedot ke dalam teks. Itu membuatnya untuk menjernihkan pikirannya, dan bersiap untuk tidur yang nyaman dan sehat.
Ia membaca sampai ke bagian yang terbaik hari ini, menutup bukunya, lalu meletakkannya di atas meja di samping ranjangnya. Meringkuk ke dalam selimut, ia melihat ke arah gadis di sebelahnya. Akane, teman sekelasnya di SMA dan istri sahnya, sekali lagi membawa buku referensi ke ranjang. Dia meletakkan sikunya di seprai, dan buku referensinya di atas bantal sambil berbaring miring.
"Kamu masih bangun?"
"Aku salah menjawab pertanyaan di kelas tadi siang, jadi aku mau latihan sedikit. Kamu boleh duluan saja, dan tidur sebelum aku."
"Kalau kamu begadang, nanti kamu bisa pingsan lagi, loh."
"Aku belum pernah pingsan karena hal itu."
"Tentu saja pernah! Apa kamu ini sudah lupa penyebab dari demam yang kamu alami waktu itu!?"
Akane mendengar jawaban Saito, tetapi dia hanya membalas dengan seringai sombong.
"Bahkan kalau itu terjadi, aku bukan tipe orang yang akan mengulangi kesalahan yang sama dua kali."
"Kamu itu orang yang benar-benar lupa sampai melakukan hal itu lagi! Kamu merupakan perwakilan dari orang-orang yang melakukan kesalahan yang sama dua kali!"
"Kasar sekali! Orang yang menyebut orang lain bodoh itulah orang bodoh yang sesungguhnya!"
"Apakah kamu ini anak SD!?"
Saito dan Akane saling memelototi. Saito baru saja menenangkan dirinya dengan sedikit membaca, dan sekarang olok-olokan pasutri di tengah malam itu menghancurkan semua itu.
"Jangan terlalu memaksakan dirimu, oke? Aku tidak keberatan mengajarimu kalau kamu mengalami kesulitan pada materi tertentu."
"Aku menolak dengan sepenuh hati! Gara-gara kamu lah, aku selalu menempati peringkat kedua di angkatan kita. Aku tidak akan meminta bantuan dari musuhku!" Akane dengan erat memeluk buku referensinya, dan bahunya bergetar sambil marah.
"Kita ini bukan musuh, kita ini suami-istri, ingat?"
"Musuh, kubilang! Kalau ini merupakan medan perang, kamu pasti sudah berubah menjadi daging panggang!"
"Aku sangat bersyukur karena ini bukan medan perang…" Saito merasa begitu dari lubuk hatinya yang terdalam.
Akane memegang dagunya, dan mulai berpikir.
"Hmmm…mungkin kamu ini sudah berubah menjadi daging panggang…Aku mungkin berbicara dengan daging panggang, bukan manusia…"
"Tenanglah, otakmu tidak akan berfungsi lagi kalau isinya cuma belajar semua."
"Aku ini baik-baik saja. Setidaknya, lebih dari dirimu dan sikap cerobohmu itu."
"Bukan begitu maksudku…" Saito menyerah, sadar kalau sikap Akane sama seperti biasanya.
Ke mana perginya Akane, yang menangis tersedu-sedu saat menghentikan Saito dari berkencan dengan Himari? Mungkin Saito cuma salah paham tentang hal lain sebagai kecemburuan? Bahkan saat ini, Saito gagal memahami apa yang baru saja Akane pikirkan. Sejujurnya, ia juga tidak memahami perasaannya sendiri, jadi memahami orang lain mungkin terlalu berlebihan untuk saat ini.
Itu fakta kalau Akane telah memperlakukan Saito seperti saingannya sejak kelas sepuluh SMA mereka. Tentu saja, sepertinya itu belum berubah sejak saat itu. Untuk menghadapi gaya hidup pernikahan ini dengan aman, mereka membutuhkan gencatan senjata. Dengan pemikiran itu, Saito dengan hati-hati memilih kata-katanya, mencoba untuk meyakinkan Akane.
"Dengar… aku sudah mengatakan ini berkali-kali sebelumnya, tetapi aku tidak mau menjadikan ini sebagai kompetisi."
"Kalau aku maunya begitu." Akane cemberut.
"Karena ujian itu ada untuk mengukur bakat siswa-siswi yang sebenarnya, kalau kamu menganggapnya terlalu jauh dan keluar dari jalurmu, kamu akan semakin jauh dari tujuanmu di masa depan. Kalau aku dapat nilai buruk meskipun mendengarkan di kelas, maka itulah batas keahlianmu."
"Hah!? Kamu ini mengajak berkelahi, ya!?"
"Tidak kok. Aku cuma bilang kalau kamu mesti puas dengan nilai yang kamu dapatkan tanpa terlalu memaksakan dirimu. Kalau kamu mendapatkan peringkat kedua di angkatan di sekolah kita, banyak universitas yang terbuka buatmu."
"Jadi kamu menyuruhku untuk menerima batasanku sendiri!? Kamu ini memang mau menantangku untuk berkelahi, ya!? Bagaimana kalau kita bergulat!?" Akane mengangkat tangannya, dan siap dengan posisi bertarung.
Alih-alih memasang postur pegulat profesional, dia malah tampak lebih seperti seekor kucing liar yang gelisah.
"Tenang! Aku tidak tertarik bergulat dengan wanita tengah malam begini!"
"Jadi kamu ini sudah yakin kalau kamu tidak akan kalah, dan meremehkanku, ya. Kamu akan menyesalinya!"
"Bagaimana caranya!? Fisik kita itu berbeda jauh!"
"Aku bisa menghancurkan sebuah mobil dengan tangan kosongku!"
"Kamu ini gorila, kah!?"
Meskipun begitu, Saito sendiri bahkan tidak yakin kalau seekor gorila bisa sampai pada apa yang Akane banggakan itu. Melihat lengan Akane yang ramping, Saito ragu kalau Akane bisa menghancurkan jeruk yang sederhana.
"Ngomong-ngomong, aku tidak akan membiarkanmu mengajariku apapun itu! Aku akan mengalahkanmu dengan kemampuanku sendiri, dan sampai saat itu tiba… aku tidak akan menyerah!" Akane menyatakan hal ini dengan nada yang bermartabat.