Inkya Datta Ore no Seishun Revenge Tenshi Sugiru Ano Musume to Ayumu no Re Life [LN] - Jilid 1 Bab 2 - Bahasa Indonesia - Lintas Ninja Translation

Bab 2
Permulaan dari Masa Mudaku yang Kedua

"Shijouin-san."

Jantungku berdebar-debar saat permata dari masa laluku muncul di depan mataku.

Rambutnya panjang dan indah.

Matanya besar dan jernih seperti permata.

Dia adalah perwujudan dari kata 'Yamato Nadeshiko'.

Senyumnya yang riang mengungkapkan keindahan hatinya.

Gadis yang sudah lama aku dambakan sejak aku masih sekolah, Shijouin-san, ada di sana.

"Iya? Apa ada masalah? Kamu sedikit membuatku terkejut..."

Dia berbicara dengan nada bicara yang lembut dan tingkah lakunya elegan, persis seperti yang aku ingat.

Keluarganya, Keluarga Shijouin, telah menjadi keluarga terkemuka untuk waktu yang lama, ayahnya adalah pimpinan dari toko buku besar yang beroperasi secara nasional. Kamu bisa bilang kalau dia adalah seorang putri yang terlahir di zaman modern.

"A-Ahh...tidak... aku hanya sedikit mengantuk, Shijouin-san. Ngomong-ngomong, selamat pagi, Shijouin-san."

"Iya, selamat pagi!"

Shijouin-san tersenyum padaku. Dia sangat imut.

Meskipun penampilan dan latar belakangnya seperti itu, dia tidak pernah bertingkah sombong di depan orang-orang bahkan diriku, anggota dari kasta terendah di sekolah.

Payudaranya itu lebih dari cukup, pinggangnya tampak kencang, dan proporsi tubuhnya sempurna. Tidak heran kalau banyak laki-laki yang terpesona olehnya.

Meskipun dia gadis yang sangat baik....

Saat aku memandang wajahnya, aku merasakan rasa sakit yang tajam di dalam hatiku. Kenangan tentang nasibnya di kehidupanku yang sebelumnya datang kembali padaku.

Setelah lulus dari SMA, Shijouin-san berkuliah dan mendapatkan pekerjaan di perusahaan tertentu. Tampaknya, kecantikan dan keceriaannya membuatnya sangat populer di perusahaannya dan dia mampu mengerjakan pekerjaannya dengan sangat baik.

Namun, perundungan yang sengit mulai menyerangnya dari para rekan kerja perempuannya karena hal itu. Dikatakan bahwa mereka iri dengannya karena dia menarik banyak perhatian dari seluruh karyawan laki-laki.

Hal-hal seperti menyembunyikan barang-barang pribadinya, menyalahkannya atas kegagalan yang mereka buat, menyebarkan rumor-rumor buruk tentangnya dan memaksanya untuk mengerjakan tugas yang jumlahnya sangat banyak hanyalah permulaan saja. Setiap hari mereka akan mendekatinya berkelompok dan menganiayanya secara fisik.

Mungkin karena dia adalah orang yang serius, Shijouin-san terus bekerja dengan putus asa tanpa berkonsultasi dengan keluarganya. Tetapi walhasil, dia jatuh depresi.

Ditambah lagi, di saat yang sama, bisnis keluarganya sedang terpuruk, dan akhirnya, Keluarga Shijouin, jatuh dalam kebangkrutan. Itu adalah alasan lain mengapa keluarganya gagal memahami kondisinya.

Pada akhirnya, Shijouin-san merenggut nyawanya...

Karena dia putri dari pemilik perusahaan besar, berita mengabarkannya dengan detail, dan aku menjadi tahu kebenaran yang kejam di tengah-tengah kehidupanku sebagai budak perusahaan.

Pada saat itu, aku sangat terkejut sehingga aku kehilangan nafsu makan selama beberapa waktu...

Di kehidupanku yang sebelumnya, aku tidak terlalu dekat dengan Shijouin-san.

Tetapi di dalam kelabu masa mudaku, percakapan kecil yang aku lakukan dengannya adalah satu-satunya penyelamatku.

Aku senang karena dia mampu membuka hatinya yang polos padaku, bahkan jika itu hanya untuk sementara waktu. Fakta bahwa ada gadis yang seperti itu di dunia ini menyelamatkanku.

Tetapi, bahkan seorang gadis yang berharga seperti dia itu tidak bisa bertahan dari kejamnya dunia ini....

Nasibnya mirip dengan nasibku. Meskipun kami mengalami hal-hal yang berbeda, pada akhirnya, kami berdua tersiksa oleh bagian dari kehidupan bermasyarakat yang tidak wajar.

Meskipun di saat kematianku, duka citaku atas kehilangannya tidak menghilang...

...Dapatkah aku... mengubah nasibnya?

Jika aku bisa mengubah masa depan, aku pasti akan mencoba menyelamatkannya.

Aku hanya belum mengetahui caranya.

Tetapi untuk saat ini, aku hanya akan bertukar beberapa kata dengannya pertama kalinya setelah dua belas tahun.

"Shijouin-san, kamu tampaknya sedang senang, ada apa?"

"Hehe... Aku bangun terlambat karena membaca tadi malam... Aku sebenarnya sedikit susah terbangun... Tetapi, ngomong-ngomong, aku tengah membaca buku ini! Lihat, ini jilid ketujuh dari Errand Boy of Zero!" (TL Note: Referensi dari The Familiar of Zero/Zero no Tsukaima.)

Shijouin-san terkikik saat dia mengeluarkan novel ringan dari tasnya. Itu dipenuhi dengan buku-buku, beberapa di antaranya pasti buku yang dia pinjam dari perpustakaan. Ah, benar, dia seorang pembaca setia. Sejak saat dia menanyakanku soal novel ringan, dia telah membaca novel ringan dengan genre yang berbeda-beda.

"Oh! Jilid itu benar-benar keren! Terutama pada bagian di mana sang protagonis berdiri sendiri menghadapi tujuh puluh ribu tentara untuk melindungi tuannya!"

"Aku tahu itu, iya kan? Aku jadi sangat tertarik dengan adegan itu!"

Percakapan sepele kami terus berjalan, aku terkejut mendapati diriku mampu bercakap-cakap dengannya seperti ini.

Aku tidak pernah berhasil melakukan ini di kehidupanku yang sebelumnya.

"Hah... Niihama-kun, tingkahmu agak berbeda hari ini?"

"Eh? Be-Benarkah?"

"Iya. Kamu biasanya terus mengarahkan pandanganmu ke bawah dan hanya berbicara jika kamu harus... Tetapi hari ini kamu sepertinya lebih ceria dari biasanya! Aku terkejut!"

Dia tepat sekali.

Aku dan Shijouin-san berada di komite perpustakaan yang sama, dan kami pertama kali mengobrol ketika aku membantunya mencarikan novel ringan.

Setelah itu, Shijouin-san yang ceria terus berusaha mengobrol denganku. Terkadang, dia akan mengatakan sesuatu seperti, 'Buku ini sangat menarik!' Tetapi sebagai seorang perjaka, yang bisa aku lakukan hanyalah menjawab dengan jawaban yang lemah, 'A-Ah... I-Iya... Itu memang menarik...' Ditambah lagi, dia bisa dibilang seorang idola di sekolah, percakapan kami tidak berkembang lebih dari itu.

Iya, bukan berarti aku sudah terbiasa senyum ceria atau semacamnya saat aku dewasa... Kehidupan bermasyarakat mendesak orang dewasa sepertiku untuk mampu mengungkapkan pikiran kami dengan benar, jadi saat ini, aku hanya jago dalam hal berbicara.

Bagaimanapun juga, saat bekerja, apakah itu wanita cantik, klien yang berbahaya, atau atasan yang kasar, kamu harus menyampaikan maksudmu bahkan jika kamu tidak ingin.

Jika aku tidak bisa melakukan itu, fitnah dan sindiran tajam adalah hal yang setidaknya akan kamu dapatkan dari orang-orang di sekitarmu, jadi secara alami kamu harus mempelajari beberapa keahlian berbicara.

"Ah, ini karena, dirimu, Shijouin-san."

"Karena... aku?"

"Iya, aku pikir kamu sangat mudah untuk diajak bicara karena kamu selalu tampak sangat ceria. Jadi, aku memutuskan untuk mengikutimu sebagai contoh dan berusaha mengungkapkan pikiranku mulai saat ini."

Iya, sebenarnya, atasanku di kehidupanku yang sebelumnya akan membentakku jika aku tergagap bahkan satu kata pun, jadi aku harus mempelajari cara berbicara yang benar agar bisa bertahan hidup.

"Be-begitu ya...? Umm... Dipuji langsung seperti itu... Hehe... Terima kasih..."

Dia menggaruk-garuk pipinya sambil merasa malu pada kata-kataku.

Ketika dia baik hati dan ceria, dia agak kekanak-kanakan.

Itulah sebabnya, meskipun ada banyak cowok yang berusaha mendapatkan perhatiannya, dia tidak menyadari semua itu dan dia tidak pernah memaku dirinya pada saat berkencan meskipun dia cantik.

"Ah iya, buku-buku itu, kamu ingin mengembalikannya ke perpustakaan, kan? Sepertinya itu berat, biarkan aku membawakan semuanya untukmu."

"Eh, tidak masalah! Aku bisa mengatasi ini semua..."

"Jangan terlalu memaksakan dirimu, sekolah sudah hampir dekat juga..."

Kataku saat aku membawakan tas berisi buku-buku yang sedang dia bawa.

...Tunggu sebentar... Apa yang aku lakukan? Apakah aku melakukan semua itu secara tidak sadar?

Oh tidak, itu kebiasaanku saat bekerja...

Ada banyak nenek-nenek menyebalkan di tempat kerjaku. Kapanpun aku melewati mereka, mereka akan bilang, 'Kamu itu pria, lebih pekalah! Kapanpun kamu melihat wanita yang lebih tua membawa barang bawaannya seperti ini, cepat-cepatlah tawarkan bantuanmu!'

Ini terjadi padaku berkali-kali sehingga aku mengembangkan kebiasaan menyapa dan menawarkan bantuan bantuanku pada nenek-nenek yang membawa barang bawaan yang tampak berat.

"Oh, terima kasih banyak. Sejujurnya, aku rasa aku meminjam terlalu banyak buku... Lenganku sangat lemah... Jadi ini sebenarnya aku sangat tertolong."

Bagus... Setidaknya dia tidak berpikir kalau aku ini aneh atau apapun.

Terkadang kenanganmu diperindah dengan rasa nostalgiamu dan sepertinya itu lebih manis dari yang semestinya. Tetapi dalam kasus Shijouin-san, segala hal tentangnya persis seperti yang aku ingat.

Dan inilah pertama kalinya aku dapat berbicara dengan benar dengannya. Fakta ini membuatku sangat bahagia.

"Bukan hanya caramu berbicara... Bahkan tingkah lakumu juga sangat berbeda sekarang, Niihama-kun!"

"Be-begitu ya?"

"Iya! Kamu lebih laki (macho) dan lebih sedikit diam! Kamu sangat keren!"

"....Guh!..."

Gadis ini, Shijouin Haruka yang dapat dengan santainya dengan santainya mengatakan hal-hal semacam itu dengan senyuman lebar di wajahnya.

Senyumannya sangat berkesan! Hatiku...

Haha... begitulah... dapat mendengarkan pujian darinya seperti ini... aku rasa telah hidup melalui dua belas tahun yang mencekam itu sepadan.

"Te-terima kasih. Aku senang mendengar itu darimu. Ngomong-ngomong, Shijouin-san, kamu meminjam banyak buku, iya kan? Apakah ada lagi yang menarik minatmu!"

"Ah, iya! Sebenarnya, semuanya menarik! Ada di yang satu ini..."

Aku dan Shijouin-san berjalan bersama ke sekolah, membicarakan hal-hal yang sepele.

Tidak ada terlalu banyak siswa-siswi dari sekolah kami di dekat sini, tetapi orang-orang yang berada di dekat sini tidak menyukai fakta bahwa seorang kutu buku pemurung sepertiku dan Shijouin-san yang cantik dan terkenal berjalan bersama.

Tetapi aku tidak peduli. Bagaimanapun juga, aku telah memutuskan menjalani kehidupan yang berbeda.

Dan karena tekad inilah aku mampu untuk berangkat ke sekolah bersama Shijouin-san, yang tidak bisa aku lakukan di kehidupanku yang sebelumnya ketika aku ketika aku selalu diperhatikan oleh orang lain.

Aku bertekad untuk balas dendam di masa mudaku lagi. Aku merasakan kehangatan di hatiku saat aku mengobrol dengan seseorang yang seharusnya tidak pernah aku jumpai lagi.


                     *


Ruang kelas lamaku... sangat nostalgia.

Aku sangat tersentuh ketika aku melangkahkan kakiku melewati gerbang sekolah dan mengganti sepatuku ke sepatu dalam ruangan, tetapi perasaan itu tidak dapat dibandingkan dengan saat ketika aku melangkahkan kakiku ke dalam ruang kelas.

Meja, bangku, papan tulis, dan suasana yang ramai ini... Ini adalah ruang kelas lamaku, oke.

"Kalau begitu, Niihama-kun. Sampai jumpa sepulang sekolah."

"Eh?.... Ah, benar, sampai jumpa."

Kata Shijouin-san saat kami berpisah di pintu masuk ruang kelas. Meskipun, aku membalas kata-katanya, aku tidak bisa langsung mengingat apa yang dia bicarakan.

Sepulang sekolah? ...Mengapa sepulang sekolah?

Ah, benar. Komite perpustakaan!

Dan tampaknya, giliran (sif) kami hari ini.

Begitulah, itu bisa dipikirkan nanti, untuk saat ini, mari kita selesaikan hari pertama sekolah ini terlebih dahulu.

Sekarang, di mana posisi bangkuku ya? ...Ah, itu dia... Wah, meja dan bangku kayu ini... terasa nostalgia saat melihatnya.

Sesungguhnya, aku tidak mengingat di mana tempatnya posisi bangkuku berada, tetapi seragam olahragaku tergantung di bangkuku, jadi aku dapat dengan mudah mengidentifikasinya.

Saat aku mencari-cari di bawah mejaku, aku menemukan buku paket dan buku catatan yang aku tinggalkan di dalamnya. Melihat hal itu, aku merasa senang dan nostalgia, seolah-olah aku telah menggali kapsul waktu.

Wah! ...Catatanmu kala itu! Tulisanku sangat berantakan di saat ini, ya?

Setelah terjatuh ke dalam nostalgia, bel berdering dan pembinaan wali kelas dimulai. Memang sudah dua belas tahun berlalu sejak aku terakhir kali datang ke kelas, tetapi aku mampu merespons instruksi ketua kelas selama sambutan pagi. Itu terasa menyenangkan.

Setelah wali kelas berbicara, salah satu siswi maju ke depan.

Rambutnya tidaklah panjang dan tidak juga pendek. Dia memakai kacamata dan wajahnya agak imut. Dia berwajah datar sih, aku tidak pernah bisa mengetahui apa yang dia pikirkan.

Sejujurnya, dia tidak meninggalkan kesan apapun padaku.

Uhh... Namanya... Kaza... siapa?

"Aku Kazamihara. Aku telah ditunjuk sebagai anggota komite festival sekolah. Untuk sekarang, hal yang ada di dalam agenda kami adalah memutuskan acara apa saja yang harus diadakan di festival. Jika kalian memiliki suatu ide, tolong hubungi aku sesegera mungkin karena kami hanya punya tenggat sampai satu pekan untuk hal ini. Juga, jika ada suatu ide bodoh seperti 'kafe bikini' atau 'api unggun dalam ruangan'..."

Gadis berkacamata itu, Kazamihara, menginformasikan pada kami dengan cara mekanis tanpa adanya tanda perubahan ekspresinya sebelum dia langsung kembali ke bangkunya. Caranya melakukan ini mengingatkanku pada kehidupan lamaku yang membosankan.

Tetap saja, festival budaya... waktu itu tahun ini, ya?

Sekarang aku ingat. Sekolah kami mengadakan festival budayanya di musim semi. Jujur saja, acara ini tidak meninggalkan banyak kesan bagiku, mau bagaimana lagi itu benar-benar terlepas dari pikiranku.

Begitulah, aku pikirkan itu nanti. Hal yang paling penting saat ini adalah membiasakan diri dengan kehidupan SMA. Aku telah mengkaji ulang semuanya dari awal lagi, ya?

Ini baru hari pertama, jadi aku punya banyak hal untuk dibiasakan. Juga, aku harus menyimpan seluruh hal yang berbau festival itu di belakang pikiranku.

Ngomong-ngomong, mata pelajaran hari adalah matematika... Bagaimana sih cara kamu mengerjakan pertidaksamaan dan integral? Apa maksudnya kalkulus itu? (TL English Note: Pakai aja wolfamalpha.) (TL Note: Pake Zenius aja.)

                *

"Oi, Niihama..."

"Eh? Kamu... Ginji, ya?..."

Saat ini adalah waktunya istirahat di antara dua jam pelajaran.

Siswa yang memanggilku adalah satu-satunya teman yang aku miliki di SMA.

Namanya Yamahira Ginji. Ia seorang kutu buku sepertiku, tetapi rambutnya pendek dan penampilannya rapi. Ia lebih mirip seorang atlet ketimbang seorang kutu buku. Mengenai hal ini, ia berkata, 'Jika aku berdandan seperti seorang kutu buku, aku akan segera dirundung. Ini adalah caraku membela diriku.'

Orang ini hanyalah satu-satunya orang yang aku ajak minum bersama setelah kelulusan.

"Hah? Ada apa dengan wajah kebingunganmu itu? ...Ya, itu tidak penting... Jadi, apa-apaan dengan itu?"

"Apa-apaan dengan apa?"

"Jangan pura-pura tidak tahu! Aku membicarakan Shijouin-san! Apa yang kamu lakukan, bermesraan dengannya di pagi hari!?"

"Apa!? Tidak, aku hanya bertemu dengannya saat perjalanan ke sekolah. Dia membawa banyak sekali buku, jadi aku membantu membawakannya."

"Apa? APA?! KAMU APA!? Kamu yang bahkan tidak bisa membentuk satu kalimat pun dengan lancar kapanpun kamu berusaha berbicara dengan cewek? Mengapa kamu bertingkah seperti ikemen manga shoujo sekarang?!"

Agar adil, aku melakukannya secara tidak sadar, oke? Begitulah, aku rasa kalau ia akrab dengan diriku yang pemurung, tindakanku sangat keluar dari karakterku, ya?

"Ngomong-ngomong, kamu... Tunggu, kamu tidak terlihat berbeda... Tetapi cara berbicaramu itu... dan aura pemurungmu sudah hilang... Mungkinkah kamu, bereinkarnasi ke isekai dan datang kembali kemarin setelah mengalahkan raja iblis di suatu tempat?"

Hampir mendekati, tetapi sebenarnya ini melompat waktu, kawanku.

"Jackpot, Ginji! Aku sebenarnya datang dari dunia yang berbeda sampai kemarin. Aku mesti bertahan dua belas tahun bekerja tanpa dibayar. Aku mesti bekerja dari pagi-pagi sekali dan pulang larut malam sambil terus menerus dilecehkan oleh rekan-rekan kerjaku!"

"Haha, sekarang itulah dunia gelap yang dari mana kamu berasal."

Sayangnya, itulah yang terjadi di dunia nyata.

Baginya yang belum tercemar oleh sisi gelap kehidupan bermasyarakat, ini mungkin terdengar seperti lelucon yang lucu. Tetapi sayangnya, begitulah kenyataannya. Iblis memang ada di masa dan zaman ini.

Iya, tetapi ini sudah lama sejak aku terakhir kali aku mengobrol seperti ini dengannya.

Perasaan bahwa aku kembali ke waktu itu semakin bertambah kuat.

"Begitulah, Shijouin-san itu baik hati dan bijaksana, jadi dia terbuka dengan orang-orang seperti kita, tetapi seharusnya kamu tidak mendahuluinya sendiri. Pemimpin dari atlet dan riajuu semuanya mengincarnya dan kamu sederhananya tidak memiliki kesempatan."

Wah, aku tidak tahu kalau kata "riajuu" sudah ada pada zaman ini.

"Sayangnya, kutu buku seperti kita memiliki kasta terendah di sekolah, jika kamu sedikit mencolok dan mereka yang berada di kasta yang lebih tinggi akan memperhatikanmu, kamu bisa saja menjadi target perundungan."

Ah, benar... Kasta sekolah... aku ingat itu...

Kalau dipikir-pikir lagi, itu adalah peraturan tidak tertulis bahwa sekelompok anak akan bertarung memperebutkan posisi.

Sebenarnya tunggu, bahkan ketika kita dewasa kita masih membuat keributan tentang hal-hal sepele seperti itu...

"Iya, aku akan berhati-hati. Terima kasih atas saranmu, Ginji."

Tetap saja, tidak peduli siapapun yang mencoba untuk terus mengawasiku, aku tidak akan membiarkan kehidupan keduaku ini menjadi gagal lagi.

Hasil dari tidak melakukan apa-apa dikarenakan perasaan takut akan diserang oleh orang lain terus menerus adalah kehidupan yang hambar sebagai seorang anak muda dan seorang calon budak perusahaan dan dipekerjakan dengan keras seperti seekor binatang.

Aku akan melakukan apapun yang aku inginkan.

Kali ini, aku tidak akan menyesali apapun.

               *

Dan di hari yang sama saat aku membuat resolusi itu, ia muncul.

"Oi, kamu kutu buku yang menjijikkan, Niihama. Menghadap ke sini."

Itu saat waktu makan siang. Saat aku mengeluarkan dompetku di depan mesin penjual otomatis, ia memanggilku.

Cowok ini... Hino...

Ada dapat langsung mengingat nama siswa yang kasar itu di depanku. Seragamnya tampak lusuh dan ia memakai tindik di telinganya.

Ia adalah seseorang yang menargetkan siswa-siswi berpemikiran lemah dan berkata, 'Hei, berikan aku uang. Kita berteman, bukan?' dan jika mereka menunjukkan tanda-tanda menolaknya, ia akan mengancam mereka dengan mengatakan, 'Oh, kamu memandang rendah diriku, iya kan?'

Aku ingat sensasi membekukan darah saat bertemu dengan cowok ini di kampus, dan perasaan takut ia akan menarik-narikku di dada dan berteriak padaku.

Kala itu, cowok ini adalah objek ketakutan bagiku, dan aku sangat ketakutan sehingga aku harus menyelinap dan bersembunyi agar tidak bertemu dengannya...

Hah... Ia sama sekali tidak seram...

Aku tidak merasa terintimidasi olehnya sama sekali. Sampai ke titik di mana aku ingin bilang, 'Apa sih yang aku takutkan kala itu?' Sebaliknya, tampang memberontaknya membuatnya tampak kekanak-kanakan dan aku harus menahan keinginan untuk menertawakannya.

"Bagus sekali kamu berada di sini. Hei, berikan aku uang Niihama, kawanku. Aku lupa membawa uang untuk makan siangku."

Ia memandangiku dengan seringai di wajahnya, seolah-olah aku ini orang bodoh. Faktanya, pada waktu itu, aku mungkin sangat payah baginya. Tetapi .... aku berbeda sekarang.

"Hah? Apa kamu bodoh? Mengapa aku harus memberikanmu uangku?"

"A-Ap?"

Mungkin ia tidak menduga kalau aku akan menolaknya, tetapi ia tampak terkejut.

"Apa kamu bermain-main denganku?! Kamu pikir kamu cukup jago untuk bicara kembali padaku seperti itu? Jangan sombong kamu s*alan! Aku akan mengajarimu!"

"Tidak usah banyak omong, aku tidak punya banyak waktu untuk sandiwara anak bandelmu."

"San-sandiwara? ...kamu keparat, kamu benar-benar ingin aku memukulmu, iya kan?"

"Maksudku, semuanya hanyalah akting, kan? Kamu bukan anak bandel sungguhan, kamu hanya berpura-pura saja. Kamu tidak memiliki keberanian yang cukup besar untuk memukul seseorang, ya!"

Iya, aku tidak mengetahuinya saat itu, tetapi aku belum pernah mendengar apapun kalau ia benar-benar memukul seseorang. Ia juga tidak mencoba menentang guru-guru atau semacamnya. Ia jelas bukan anak bandel sungguhan, dia hanya banyak mengoceh.

"Juga, aku tahu kalau kamu hanya berkeliling mengambil uang dengan jumlah sedikit dari sejumlah siswa-siswi sehingga semuanya tidak menjadi masalah besar. Lagipula, jika kamu mengambil uang dengan jumlah banyak, kamu akan mendapat masalah. Bertingkah seperti anak bandel ketika kamu tidak memiliki cukup keberanian untuk menjadi sungguhan. Menyedihkan."

"Oi, oi! ...Kamu s*alan! Niihama! Kamu mengolok-olokku, iya kan? Aku akan tunjukkan padamu!..."

Seperti yang aku duga, wajah Hino memerah dan ia membentak. Ia mengancamku dengan suara keras yang khas, tetapi aku tidak cukup hijau agar ancaman semacam itu mempan. (TL English Note: Hijau di sini berarti naif atau pemula, kalau aku tidak salah.)

Di kehidupanku yang sebelumnya sebagai seorang budak perusahaan, para atasan telah mengacamku dengan berbagai cara.

'Kamu harus mengerjakan tugas ini. Kalau tidak, aku akan menurunkan evaluasi kerjamu.'

'Tetap bersamaku. Mulai besok, pekerjaanmu adalah mengatur persediaan di gudang bawah tanah yang sudah lama belum diatur lagi selama bertahun-tahun.'

'Tidak ada yang namanya penyalahgunaan kekuasaan! Mengatakan hal-hal seperti ini sekali lagi, aku akan mengubahmu menjadi seorang peleceh.'

Aku sering meneteskan air mata oleh kekuatan yang sangat besar dari orang-orang yang kuat yang mengendalikan dunia kecil dari perusahaan itu.

Dibandingkan dengan itu, ia hanyalah anak lemah. Tidak peduli seberapa keras dia berteriak, itu tidak akan membuatku takut.

"Jadi apa yang akan kamu lakukan? Kamu ingin memukulku? Kalau begitu, lakukan. Ayolah, lakukan saja. Apa? Kamu tidak bisa melakukannya saat ini karena kita sedang berada di tengah-tengah keramaian? Lihat dirimu, dari tadi cuma ada gonggongan dan tidak ada gigitan. Pada akhirnya kamu takut diskors, benar-benar lucu."

"Kamu kutu buku s*alan! ...Jangan main-main denganku!"

Hino mengulurkan tangannya padaku.

Mungkin akan lebih nyaman jika ia memukulku, tetapi ia mengincar dompet di tanganku.

Ia mengambil dompetku yang berisi tiga ribu yen yang ibuku berikan padaku.

"Ha! Aku akan mengambil dompetmu hari ini sebagai hukuman karena kamu sangat sombong! Iya, di dalamnya ada... Ampun deh? Ini cuma tiga ribu?"

Cuma 3.000 yen.

Hahaha. Cuma 3.000 yen, ia bilang.

Anak nakal ini... Beraninya ia...!

"Jangan pikir kalau ini sudah selesai, lain kali akan aku pastikan-"

Ia baru saja ingin pergi, tetapi berhenti di tengah kalimat.

Itu karena aku menariknya di dada dengan kedua lenganku.

"Kamu s*alan... Apa yang kamu pikir kamu–"

"Jangan b*cot."

Ketika aku menatapnya dengan amarah, ia menatapku kembali. Mata Si Anak Bandel Gadungan ini melebar seolah-olah ia tidak menduga kalau bakal ada respons yang agresif dariku.

"Kamu mau mengambil duitnya, iya kan?"

Suara yang keluar dari mulutku terdengar lebih tanpa perasaan daripada yang ia pernah dengar sebelumnya.

"Kamu bilang itu cuma tiga ribu yen dan kamu mencoba mengambilnya dariku."

"Iya? Memangnya menga-"

"Jangan main-main denganku!"

Ketika aku berteriak dengan keras, Hino dan siswa-siswi di sekelilingnya terdiam.

"Cuma tiga ribu yen saja, s*alan kamu?! ...Apakah kamu tahu betapa banyak kerja keras yang diperlukan untuk mendapatkan sebanyak itu?"

Aku benar-benar kesal.

Tidak diragukan lagi, Hino tidak pernah mendapatkan uang dari jerih payahnya sendiri.

Ia tidak mengerti bobot dan nilai dari uang sama sekali.

Aku benar-benar marah karena anak nakal itu mencoba mengambil uang yang ibuku dapatkan dari pekerjaannya.

"Aku bekerja sangat keras di atas papan ketik (keyboard) sampai lenganku membunuhku! Terkadang kamu harus membungkuk dan mengikis ketika klien gila membentakmu! Jika kamu membuat bahkan satu kesalahan saja, mereka akan memanggilku orang gila, bodoh, atau bahkan menyuruhku untuk bunuh diri!"

Seharusnya ini bisa menjadi pelanggaran yang bisa dimaafkan bagi seorang anak yang tidak tahu apa yang sedang ia lakukan sehingga bertingkah seperti anak bandel dan sembarangan mengambil uang orang lain. Itu di luar jangkauan apa yang bisa diizinkan karena ketidaktahuan.

"Aku tidak peduli seberapa sering kamu berpura-pura menjadi anak bandel, kamu hanyalah bocah ingusan yang masih bergantung pada orang tuamu untuk semua hal! Lain kali kamu mencoba merebut uang hasil kerja keras orang tuaku! Aku akan membunuhmu... mengerti?"

"Ah... Oh..."

"Aku bilang... APA KAMU MENGERTI?!"

"A-Ahh..."

Mungkin saja amarahku pada orang bodoh ini karena mengambil uangku dengan entengnya telah memberikan efek jera, Hino menjawabku sambil menatapku kebingungan.

Aku melepaskan tanganku dari dada anak bandel gadungan itu, mengambil kembali dompetku, lalu pergi. Aku sangat sadar kalau aku menarik banyak perhatian.


←Sebelumnya            Daftar Isi         Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama