Bokutachi no Remake! Ver. β - Prolog Jilid 1 - Lintas Ninja Translation

Prolog
Tidak Ada yang Berubah

Jika aku bisa kembali ke masa itu.

Itu adalah sesuatu yang kita semua pikirkan dalam satu waktu atau lebih, tetapi delusi hanyalah sekilas dan memilukan.

Ini karena waktu itu tidak bisa diubah dan tidak ada yang namanya kembali ke masa lalu.

Jauh lebih bermakna untuk berharap pada apa yang mungkin terjadi pada kenyataan.

––Tetapi tetap saja, kita tidak bisa menghentikan delusi.

Karena dunia yang bisa saja terjadi di dunia "seandainya" itu manisnya kebangetan.

Itulah sebabnya orang-orang sangat bingung ketika berkaitan dengan mengambil keputusan.

Dengan kekhawatiran dan ekspektasi yang luar biasa untuk masa depan yang terbentang ke depan.

♦️

Impianku di Tokyo hancur berantakan dan aku pulang kembali ke rumah orang tuaku di Nara.

Segera setelah aku kembali, aku diminta untuk membersihkan kamarku.

Adikku Miyoko, yang sudah menikah di Tokyo, bercerai tanpa sepengetahuanku dan datang kembali sebagai janda beranak satu. Jadi, dia ingin mengubah kamarku menjadi kamar anaknya. Sang abang kehilangan pekerjaannya dan sang adik bercerai. Kalau digabung semuanya, itu menjadi waktu yang agak kacau.

"Ya, apa di sini, ini..."

Sebuah kotak kardus di dorong ke rak. Buku catatan di mana aku menulis pengaturan judul gim fantasiku, buku sketsa di mana aku selesai menggambar sampai lima hari setelah menganggap serius sebuah utas yang bilang kalau aku akan lebih bagus dalam hal ini jika aku menggambar setiap hari, dan juga novel ringan dan manga yang membuatku ketagihan.

Tetapi aku tidak bisa menemukan satu benda yang seharusnya ada di sana.

"Hmm? Itu... Ke mana perginya ya?"

Ketika aku mencarinya, ponsel pintarku berdering.

"Hah... Ini panggilan telepon. Halo?"

"Ah, Abang? Ketika aku sedang memilah barang-barangku, aku menemukan beberapa barang Abang tercampur, dan aku merasa tidak enak kalau Abang mencarinya, jadi aku menelepon Abang."

"Barang Abang? Apa?"

"Surat penerimaan Abang. Abang menghargainya, iya kan?"

"..., Iya, Abang sedang mencarinya. Jika kamu bisa membawakannya ke Abang, itu lebih bagus."

"Oke, sampai jumpa nanti, Bang~."

Aku menutup panggilan. Aku berbaring di ranjang.

"Mengapa aku ikut ujian itu kala itu..."

Universitas Seni Oonaka, Fakultas Film dan Video. Karena beberapa alasan, aku melamar ke universitas ini, yang merupakan rumah dari sutradara serial anime nasional yang semua orang kenal, latar dari manga yang terkenal, "Akai Honoo", berdasarkan kehidupan nyata dari seorang mangaka yang sangat terkenal, dan telah menghasilkan banyak kreator untuk perusahaan pembuat game terkenal dunia, Jintendo. Ini juga kampus di mana ketiga kreator berasal.

"Aku diterima, iya kan... Mengapa?!"

Karena beberapa alasan, aku lulus. Namun, aku tidak melanjutkan pendidikan di Universitas Seni, karena aku sudah diterima di pilihan pertamaku, yang memiliki peringkat yang lebih tinggi.

Bagaimana jika aku masuk ke prodi seni dan menjadi teman sekelas mereka bertiga.

"...Itu benar, jika itu terjadi..."

Aku membayangkan kehidupanku sebagai mahasiswa bersama mereka, yang belum pernah aku temui.

Kami mengobrol, berdiskusi, marah, menangis, dan tertawa karena karya kami.

Kami terinspirasi oleh kreasi masing-masing, aku terinspirasi oleh mereka untuk membuat sesuatu.

Itu ketika aku berhenti berfantasi.

"Memangnya mengapa...!"

Mataku memanas, dan penglihatanku tiba-tiba kabur.

Sesuatu keluar dari bagian belakang hidungku.

"Ini sudah terlambat."

Semuanya berakhir hari itu, 10 tahun yang lalu.

Hasil dari mengejar mimpiku dengan semuanya yang setengah hati adalah diriku hari ini. Hanya perusahaan dengan kepala yang tidak berguna yang dapat menerimaku, dan begitulah diriku saat ini.

Gim yang dikeluarkan ke dunia dalam keadaan setengah jadi itulah kehidupanku sendiri.

"Apa kehidupanku yang sebenarnya...?"

Aku tertawa pada diriku sendiri dan menutup mataku perlahan.

Aku harap aku bisa kembali ke masa itu.


Aku dulu punya mimpi. Itu ketika aku mengikuti ujian masuk.

Adikku yang masih duduk di bangku SMP kala itu, dan kami semua bersemangat karena fakta bahwa aku akan mengikuti ujian masuk universitas.

Kapanpun aku menerima pemberitahuan lulus/gagal melalui surat, adikku menunggu di kotak surat, dan membawakannya langsung padaku. Seakan-akan itu adalah miliknya sendiri, dia akan kecewa jika aku gagal, dan jika aku lulus, dia akan memegang tanganku dan melompat kegirangan.

Aku bisa mendengar suara di tangga.

"Hmm, apakah dia datang?"

Suara itu membuatku membuka mataku.

Aku mengambil ponsel pintarku untuk memeriksa waktunya.

Pintu kamar dibuka dengan tujuan saat ketika kuncinya terlepas oleh pengenalan wajah.

"Kerja bagus, Abang! Ah, maafkan aku, apa aku membangunkan Abang?"

Ini adikku, Miyoko. Aku ingat dia bilang kalau dia memiliki urusan.

"Tidak kok. Abang baru saja ingin bangun."

"Bagus, kalau begitu! Ini, ambillah."

Dia memberikanku sebuah amplop yang sedikit lebih besar dari kantung dia bawa.

"Apa Abang punya rencana hari ini?"

Tidak, kataku,

"Aku senang ~, sudah lama sekali aku tidak bertemu Abang, dan aku sudah janjian dengan Ayah kalau kita akan makan malam di luar, jadi pastikan Abang siap."

"Iya, baiklah."

Setelah memutuskan kira-kira kapan waktunya kami makan malam di luar, Miyoko pergi ke lantai bawah.

Aku dapat mendengar dengan samar dia sedang mengobrol dengan anaknya di lantai bawah. Meskipun dia telah bercerai dan menjadi janda beranak satu, adikku sepertinya memiliki pekerjaan yang bagus dan menikmati hidupnya.

"Aku juga punya sesuatu untuk dilakukan, ...."

Aku bangun dari ranjangku dan melihat ke sekeliling kamar lagi.

Televisi di kamar ini adalah model standar, dan konsol gimnya itu PS3. Di rak buku, ada sepasang novel ringan dan manga. Ada beberapa barang, yang aku bawa bersamaku ketika aku mulai tinggal sendirian, tetapi masih ada beberapa barang yang membawa kembali kenangan lama.

Itu semua berasal dari waktu ketika impian masih menjadi impian.

"Aku harus melihat kenyataan... Kenyataannya..."

Aku menyakiti diriku sendiri di kedua pipi, mencoba membangunkan diriku sendiri dengan dua cara.

♦️

Hashiba Kyouya, 28 tahun.

Hanya itu profilku saat ini. Aku tidak memiliki hal lain lagi untuk ditambahkan, dan aku bahkan tidak memiliki masa lalu untuk dibanggakan. Jika kalian menghilangkan poin negatifnya, secara alami akan seperti ini.

Aku lahir dan dibesarkan di Prefektur Nara, ibukota lama Jepang dan kota satelit Osaka. Aku tidak tertarik secara khusus pada olahraga maupun belajar, tetapi aku menjadi ketagihan dengan gim video ketika aku masih SD, yang menuntunku pada mimpi masuk ke industri gim video.

Aku dulu mendambakan dan masih mendambakan, industri hiburan. Di antaranya, industri gim adalah yang melekat padaku secara khusus, tetapi kenyataannya tidak begitu mudah.

Aku ditolak saat tahap pelamaran oleh banyak perusahaan bisa dibilang terkenal. Perusahaan The Bishoujo Game, di mana aku bergabung dengan cara menjalin hubungan kecil seperti benang tipis bangkrut secepatnya sebagai hasil dari tindakan tidak realistis berulang dari ketuanya. Aku tidak berakhir dengan banyak utang, tetapi aku kehilangan pekerjaanku.

Aku meninggalkan apartemen tempat aku tinggal dan pulang kembali dari Saitama ke Nara. Ayahku mendengarkan apa yang terjadi dan membuatku nyaman, tetapi aku tidak bisa menetap di sini begitu lama.

Aku harus menemukan pekerjaan.

"Apa yang seharusnya aku lakukan mulai sekarang?"

Itu tidak akan mengubah apa-apa, tetapi aku bergumam untuk melihat kenyataan.

Tidak seperti di masa lalu, orang-orang di umur mereka yang sudah kepala dua (dua puluhan tahun) dengan aktif mengganti pekerjaan. Di sudah melegakan di tahun 2016 ini.

Namun, ngomong-ngomong soal riwayat pekerjaanku, aku tidak punya banyak dan aku tidak memiliki keterampilan apapun, jadi aku tidak berpikir, jadi aku rasa aku tidak akan mampu melewati penggantian pekerjaan ke depannya dengan lancar.

Aku kurang lebih percaya diri akan kemampuanku untuk menyelesaikan situasi sulit yang telah aku bersihkan, tetapi itu masih harus dilihat seberapa jauh aku akan mampu menerimanya, mengingat sifat industri yang terbatas.

"Iya, mari kita tidak membatasi diriku pada satu industri saja..."

Di tanganku, aku mendapati amplop yang Miyoko berikan padaku sebelumnya.

Aku membukanya perlahan, yang mana itu memang sudah dibuka.

Di dalamnya ada selembar kertas yang sedikit lebih tebal, bersamaan dengan beberapa dokumen.

"Kamu telah lulus dalam ujian masuk untuk angkatan XX, jadi kami memberitahukanmu."

Itu surat penerimaan dari Universitas Seni Oonaka, yang aku dapatkan sepuluh tahun yang lalu.

Kala itu, aku melamar ke universitas ini dengan tujuan menjadi seorang kreator di dunia hiburan. Aku senang telah lulus dalam ujian masuk, tetapi pada akhirnya, aku tidak menempuh jalan itu.

Aku takut. Aku ketakutan kalau aku, seorang yang tidak memiliki kemampuan dan hanya mendambakan sesuatu, akan masuk ke sebuah  universitas seni yang dipenuhi oleh orang-orang yang mungkin telah diseleksi, dan kalau aku akan tumbang duluan.

Pada akhirnya, aku pergi ke kampus pengetahuan budaya (seni liberal) swasta biasa, dan lulus setelah menghabiskan waktu selama empat tahun dalam keadaan linglung.

"Aku penasaran apa yang akan terjadi, sungguh?"

Aku masih sedikit memikirkannya.

Bagaimana jika aku mengambil keputusan untuk menghadiri universitas itu? Jika saja aku sudah bisa membuat banyak hal dengan generasi platinum yang masih aku kagumi.

Tetapi "itu mustahil". Faktanya, aku mengambil keputusan yang berbeda dan aku berada di tempat yang berbeda saat ini. Aku tidak merasa waktuku dengan mereka akan berseberangan lagi.

Tidak ada gunanya mengejar waktu yang hanya ada di sebuah kisah.

Hidup sesuai kenyataan adalah apa yang akan aku lakukan.

"Mari kita mulai sedikit demi sedikit..."

Tidak ada yang akan terjadi padaku jika aku hanya berdiam diri di rumah dan hanya berputar-putar. Apa yang telah aku pelajari dari pengalaman kecilku dalam dunia kerja adalah bahwa kebahagiaan itu tidak padamu dari sisi lain.

Mengambil tindakan, bahkan jika itu hanya sedikit saja. Jika aku melakukannya, ada kemungkinan aku akan menabrak sesuatu.

Aku membuka pesan RINE dari seorang teman yang tinggal di Tokyo, dan mengirim pesan untuk saat ini.

"Aku penasaran apakah kita bisa ketemuan pekan depan."

♦️

...Itu bulan lalu.

"Aku pulang... Haa, aku lelah..."

Aku melepas sepatuku dan berjalan ke kamarku.

"Selamat datang kembali. Kamu tampak seperti telah banyak dipukul."

Hayakawa, temanku dari kampus, melihatku dengan senyuman masam.

"Tentu saja aku akan tampak seperti ini. Ini sangat buruk sehingga aku lebih suka zaman es pekerjaan*. Aku tidak bisa mendapatkan pekerjaan sama sekali, dan bahkan jika aku berhasil melalui wawancara, mereka memandangku seperti, mengapa kamu berada di sini."

(TL Note: Zaman es pekerjaan/Employment ice age/Shūshoku Hyōgaki, adalah istilah Jepang yang merujuk pada orang-orang yang sudah terbiasa pekerjaan yang tidak stabil dan sementara di mulai pada era 90-an, sampai setidaknya tahun 2010. Sumber: Wikipedia.)

Memasuki ruang tamu sambil mengobrol dan duduk di sofa dekat jendela.

"Itu adalah industri populer. Tempat yang kamu inginkan."

Hayakawa bangun, membawakan dua kaleng bir dari kulkas, dan melemparkan salah satunya padaku. Aku berterima kasih padanya dan membuka tutupnya. Dengan suara mendesing (wuusy...), bir yang bergelembung timbul keluar.

"Ini sudah tepat tiga pekan hari ini."

Saat Hayakawa menghitung hari di tangannya, aku mengangguk dan berkata, "Iya.".

"Maaf, aku sedang berusaha lebih dari yang aku kira aku bisa... itu seharusnya diselesaikan lebih cepat."

"Tidak masalah, tidak usah khawatir, kamu bisa memperpanjangnya jika kamu mau."

Hayakawa adalah teman sekelasku di kampus dan teman terdekatku.

Ketika aku meminta saran tentang bagaimana cara mencari pekerjaan di Tokyo dan aku sedang bokek, kemudian, ia bilang datang ke sini, dan aku menerima tawarannya.

Tidak hanya menyediakan tempat tinggal untukku, tetapi ia juga meminjamkanku untuk saat itu, dan aku benar-benar tidak mampu melunasinya.

"Hei, Hashiba. Mengapa kamu tidak menyerah saja dan bekerja untuk kami?"

Kata Hayakawa dengan tampang serius di wajahnya.

"Riwayat pekerjaanmu mungkin seperti itu, tetapi kamu memiliki kepribadian dan penilaian yang bagus. Memang benar kalau menjadi pengiklan itu sulit, tetapi jika kamu bisa membuahkan hasil yang bagus, penghasilanku akan bertambah. Aku rasa itu bukanlah hal yang buruk."

"Bagian dari riwayat pekerjaanku yang seperti itu mungkin yang tidak diperlukan."

Sambil tertawa pahit, aku menatap tanganku.

Setelah lulus dari universitas, Hayakawa mendapatkan pekerjaan di agensi periklanan besar, dan kemudian berganti pekerjaan ketika seorang pramuniaga senior yang ia awasi menjadi mandiri, dan sekarang ia bekerja di perusahaan itu sebagai karyawan inti.

Ketika aku bilang "penjualan", aku tidak bermaksud hanya mengenai beberapa target saja, melainkan penjualan B ke B berdasarkan perencanaan yang matang, itulah, mengiklankan penjualan ke perusahaan-perusahaan.

Ia memberi tahuku kalau dari setengah kreatif, saat ia harus membuat konten periklanan sungguhan.

Iya, sepertinya itu bermanfaat. Itu bukanlah bidang yang benar-benar tidak aku minati.

Hayakawa tampaknya berada di posisi untuk berbicara ke HRD sampai batas tertentu, dan ia bahkan meyakinkanku jika aku direkomendasikan olehnya dengan kuat, aku akan lulus dengan kemungkinan yang tinggi. Ia bahkan bilang bahwa kalau aku mengambil keputusan yang tepat, akan memungkinkan bagiku untuk diwawancara dengan cepat dengan Kepala.

Itu adalah kesepakatan terbaik yang pernah ada. Aku merasa kalau tidak ada alasan untuk menolak.

......Namun.

"Maafkan aku. Tolong beri aku waktu satu pekan lagi."

Aku telah berjanji pada Hayakawa kalau aku hanya akan menetap selama satu bulan.

Sampai menit terakhir, aku punya sesuatu yang ingin aku pertahankan.

"Aku mengerti. Iya, kamu bisa memikirkan itu sampai tenggat waktunya."

Hayakawa tertawa riang dan meminum bibirnya dalam sekali teguk.

Kata-kata dan tindakannya dipenuhi dengan keyakinan yang tidak tergambarkan.

♦️

"....Hari yang buruk lagi, hari ini."

Aku mengeluh (menghela napas) dan memandang ke langit saat aku menyimpan pamflet informasi di tasku. Di Subcenter Shinjuku, di bawah gedung pencakar langit, banyak orang yang berlalu-lalang. Tetapi tidak ada di antara mereka yang memiliki hubungan denganku.

Aku tidak bisa menyerah begitu saja, jadi aku mulai berkeliling mencari pekerjaan pertengahan karier di dunia hiburan.

Namun, karena aku tidak memiliki pengalaman kerja atau latar belakang pendidikan yang bisa diandalkan, aku secara alami harus berjuang. Apa yang mesti aku lakukan? Sudah menjadi pola yang aku benamkan tanpa perjuangan sebelum ditanya.

"Ini adalah momen krusial, iya kan?"

Kata-kata yang Hayakawa katakan kemarin masih terngiang di telingaku.

Itu adalah kesepakatan yang luar biasa bagusnya, mempertimbangkan situasiku saat ini. Gaji dan keuntungan yang ditawarkan juga jelas sangat bagus.

Aku sangat berterima kasih pada Hayakawa sehingga aku tidak bisa apa-apa selain menangis ketika aku kepikiran ia, yang mungkin telah berusaha keras untuk menyelesaikan ceritanya sampai ke puncak.

Faktanya, aku penasaran mengapa aku terobsesi dengan hal ini.

Aku seharusnya berhenti mengejar mimpiku.

Setelah pengalaman yang begitu menyakitkan di industri hiburan, dan dengan kegagalan yang berkelanjutan, tidak ada harapan di depan mata.

Semakin aku bertahan dalam hal ini, semakin banyak masalah yang aku sebabkan pada teman-teman dan keluargaku tersayang.

Menyerah bukanlah hal yang buruk.

Ada keajaiban di dunia hiburan. Frasa inilah yang diucapkan saat sebuah wawancara dengan kreator di situs web. Memang benar kalau ada kekuatan di dalamnya. Itu semacam sihir yang membuatmu ingin bergantung padanya bahkan ketika kamu tahu bahwa itu tidak akan terjadi.

"Enam hari lagi. Dan kemudian benarkah – – Mari kita akhiri ini."

Aku bergumam pada diriku sendiri. Jika aku tidak menuangkannya ke dalam kata-kata seperti itu, aku pasti akan tersesat dalam prosesnya. Jalanan di Nishi-Shinjuku anehnya sepi jika dibandingkan dengan sebelah timur. Di tengah-tengah aliran konstan mobil dan kelap-kelip lampu bangunan yang tampak seperti kastel tanpa malam, ada perasaan aneh seolah-olah hanya orang-orang yang tertinggal.

Aku tidak keberatan berada di situasi seperti ini. Sensasi berjalan sendiri di lanskap kota menciptakan gambaran seperti dibawa ke suatu tempat yang sangat jauh dari rumah.

"Odyaku itu... di sebelah sini, ya?"

Itu sedikit jauh dari sini ke Stasiun Shinjuku, tetapi aku memutuskan berjalan untuk menghemat uang. Dari area Stasiun Nishi-Shinjuku, aku berjalan ke timur lewat Jalan Ōme Kaidō dan melihat sebuah jembatan penyeberangan orang (JPO) besar. Di bawah banyak lapisan jembatan, mobil-mobil secara terus-menerus berdatangan dan bepergian.

Aku menaiki tangga dan melihat-lihat sekitar dari jalan. Tujuannya dibagi menjadi dua distrik bangunan di samping sungai dan di area pusat kota dekat stasiun.

Tanpa ragu-ragu, aku mencoba berjalan menuju stasiun.

"Eh?"

Aku memperhatikan sesuatu yang membuatku berhenti di jalurku.

"Apa yang orang itu ingin lakukan?"

Di tengah-tengah JPO, tepat di atas lalu lintas, seorang wanita berseragam menatap pemandangan di depannya.

Tidak ada orang lain di jembatan itu. Waktu itu baru saja terjadi secara kebetulan dengan waktu ketika tidak ada orang di sekitar, seperti kantung udara, jadi hanya ada aku dan dia di jembatan itu.

Apa tujuannya?

Jika aku mengambil foto dengan ponsel pintarku, aku masih bisa mengabaikannya,

".... Bukankah itu sedikit berbahaya?"

Caranya terus menatap ke satu titik dalam diam. Tangannya berpegangan di sandaran, dan kakinya sejajar dengan rapi.

––Bunuh diri.

Kata-kata itu tidak bertanda baik, tetapi kata-kata masih masuk ke dalam benakku secara nyata.

"Berbicara dengannya.... Aku rasa aku akan mulai dengan itu."

Jika dia bilang kalau itu hanyalah imajinasiku, aku akan senang mendengarnya. Faktanya, jika sesuatu terjadi padaku karena aku membiarkannya begitu, aku akan lebih menyesalinya.

Aku menunduk sejenak dan berpikir tentang apa yang mesti aku lakukan. Aku memutuskan untuk sealami mungkin dan berbicara dengannya dengan bijak. Aku memutuskan untuk melakukan itu dan mengangkat kepalaku.

Wanita itu telah melepas sebelah sepatunya.

"Woooooo, berhentiiiiiii!"

Bukan waktunya untuk menyerah.

Aku berlari sepanjang jalan dan melompat ke arahnya.

Dengan udara yang kering dan berdebu, pemandangan malam hari di depanku berbalik.

––Itulah sebabnya mengapa orang-orang menjadi sangat bingung saat dihadapkan dengan situasi di mana mereka harus mengambil keputusan.

Dengan kekhawatiran dan kewaspadaan yang luar biasa untuk masa depan yang terbentang di depan.


←Sebelumnya            Daftar Isi         Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama