Takane Zettai Motokano - Seri 1 Bab 7

Bab 7
Perspektif yang Langka

Setelah menuntaskan les pianoku dan makan malam bersama keluarga, aku akan menyelesaikan tugasku sebelum mandi. Lalu, aku selalu berusaha untuk tidur pada pukul 22.30 malam.

"....."

Aku membuka buku latihanku, dan dengan satu kali tekan pensil mekanik di tanganku, aku memikirkan kembali apa yang telah terjadi di jalanan di depan stasiun.

"Takane-san!"

Ketika aku mendengar suara itu, aku tidak tahu apa yang terjadi itu kenyataan ataukah hanya mimpi.

Meskipun aku tahu kalau siswa yang berlari di belakangku adalah orang yang kukenal, aku tidak bisa langsung saja merasakan kenyataan kalau ia ingin menolongku, jadi aku hanya bisa melanjutkan untuk menonton dengan bodohnya.

"Syukurlah aku bisa melakukannya sebelum kamu pergi. Kami berkumpul dengan anggota kelas hari ini, dan kami harap kalau kamu bisa bergabung dengan kami juga..."

Pada awalnya, aku dengan tulus mempercayainya lebih dari para senpai itu.

Aku kira itu benar-benar terjadi karena ia sangat terengah-engah.

Tetapi ketika aku memikirkannya lagi, kalau apa yang dia katakan tidak akan terjadi sangat sering.

Teman-teman sekelasku tidak ada yang membicarakan tentang berkumpul bersama sebagai anggota kelas ketika aku pulang. Memang ada mereka yang mengundangku untuk belajar di restoran cepat saji, tetapi kupikir kalau perkumpulan itu tidak melibatkan anak laki-laki.

Asatani-san dan kawan-kawannya yang menjadi pusat kelas juga bilang kalau mereka akan jalan-jalan dan berkeliling-keliling di sekitar sekolah hari ini.

Asatani-san adalah pelajar selebriti terkenal, dan meskipun aku tidak akrab dengan televisi, aku tahu nama "Kiritani Noa". Dari masa-masa awal dia memasuki sekolah, dia menarik perhatian orang-orang baik para siswa maupun para siswi dan memiliki kehadiran yang kuat di kelas.

Sangat mustahil kalau anggota kelas akan berkumpul ketika Asatani-san tidak berpartisipasi. Ia mungkin memiliki beberapa alasan lain untuk bilang sesuatu yang tidak benar.

Dan sekarang ini, meskipun ia ditatap oleh siswa-siswi yang lebih tua, ia berlagak seperti ia tidak takut terhadap apapun.

"Oh, Kakak-kakak, apa yang bisa kulakukan untuk kalian?"

Ketika aku dikelilingi oleh para senpai, aku baru saja ingin menyerah pada pemikiran itu kalau aku tidak punya pilihan lain selain menerima undangan itu. Ia terdengar jauh, seolah-olah itu hanyalah sebuah bisikan, tetapi kata-katanya sangat kuat.

Tenis adalah salah satu hal yang sudah kupelajari sejak aku masih anak-anak, dan saat-saat tiga tahunku di SMP, aku ikut serta sebanyak mungkin sebagai bagian dari aktivitas klub tanpa istirahat, dan mendapatkan hasil akhir yang memuaskan.

Aku tidak meriset (menelusuri) sebelumnya tentang klub tenis di SMA Hekiou. Itu karena aku ingin memulai sesuatu yang baru di SMA.

Tetapi mungkin itu bukan alasan yang cukup untuk tidak lanjut bermain tenis untuk orang-orang yang telah mengenaliku sebagai pemain tenis.

Tetapi kenyataannya adalah...

Aku ingin bertanya sesuatu kepada senpai-senpai cewek dari klub tenis. Mereka bilang mereka ingin berbicara hanya di antara kami, tetapi malah membawa anak-anak cowok dengan mereka juga.

–Apa mereka meminta kalian untuk membawaku ke sini?

–Pastinya itu melanggar aturan dengan merekrut dengan cara begini.

Tetapi aku tidak bisa menuangkan ini ke dalam kata-kata. Aku tiba-tiba diliputi dengan emosi, tetapi aku harus terlihat seperti aku tidak takut atau kalau tidak, mereka akan mengambil kesempatan dariku, jadi aku mencoba untuk terlihat tenang.

Aku ingin sekali kabur, tetapi kaki-kakiku tidak bisa bergerak. Para senpai itu melirik ke arahnya selagi dia maju di belakangku. Paling tidak, aku tidak bisa menyusahkannya untuk menolongku, itulah yang aku pikirkan.

"Ini penting juga bagi kami. Permisi, kakak-kakak."

Ketika aku melihatnya di ruang kelas, dia terlihat sangat pendiam dengan Asatani-san yang duduk di sebelahnya.

Asatani-san adalah orang yang menarik, jadi kupikir ia mungkin menyadari Asatani-san.

Tetapi itu juga tampak seperti ia melakukan apa yang dia minta. Meskipun Asatani-san tampak seperti orang yang berhati baik, aku tidak memiliki kesan yang baik tentangnya.

–Aku seharusnya sudah tahu ini lebih awal.

Cara ia memperlakukan Asatani-san memang spesial.

Aku penasaran orang macam apa Nagito Senda-san yang asli itu. Aku memiliki keberuntungan untuk menyaksikan Nagito Senda-san yang asli sekali saat ia datang untuk menyelamatkanku bahkan ketika dia tidak harus melakukannya.

Saat ia melangkah keluar di depan para senpai dan menarik tanganku, pikiranku jadi tidak karuan.

Itu bukan karena aku tercengang.

Itu karena jantungku berdetak sangat cepat sehingga aku tidak bisa memikirkan apapun lagi.

Itu memberikanku banyak keberanian untuk hanya memanggilnya dengan 'Senda-kun'.

Ia tidak menyadari itu sama sekali, dan dari waktu ke waktu kami menghabiskan waktu bersama, aku perlahan-lahan jadi mampu untuk mengobrol dengannya tanpa merasa gugup.

Aku merasa bahagia hanya karena mampu untuk mengobrol tentang hal-hal yang biasa. Aku ingin berterima kasih padanya berulang-ulang kali karena telah datang untuk menyelamatkanku, tetapi ia akan berpikir aku aneh jika aku melakukannya, jadi aku harus berpura-pura untuk tenang.

Aku tidak tahu berapa banyak waktu aku mencoba untuk menarik napas dalam-dalam tanpa diperhatikan olehnya. Aku telah mengalami hiperventilasi sebelumnya, tetapi inilah pertama kalinya dalam hidupku kalau aku telah menyelesaikannya begitu ketika sadar akan seseorang.

(TL Note: Hiperventilasi adalah kondisi saat Anda Anda mungkin akan lebih banyak mengeluarkan karbon dioksida daripada menghirupnya. Sumber: Hellosehat.com)

Ia tampak seperti dia telah dipukul jatuh oleh para senpai, tetapi ketika ia memasuki gang itu dan memastikan kalau tidak ada orang yang melihat, ia tampak baik-baik saja seolah-olah tidak ada yang terjadi.

Para senpai sangat terkejut oleh betapa besarnya pergerakannya sehingga mereka tidak menyadari dia memalsukan jatuhnya ia dengan cukup baik.

"Senda-kun, apa kamu yakin kalau kamu tidak merasa sakit?"

"Tidak, aku baik-baik saja. Aku tidak bisa menunjukkannya, tetapi aku tidak punya goresan atau apapun."

Benar-benar tidak ada goresan luka apapun yang terlihat, tetapi seragamnya sedikit ternodai oleh pasir. Aku merasa sangat ingin meminta maaf dan ingin melakukan apapun yang kubisa untuk meminta maaf padanya.

Tetapi aku bisa tahu dari warna merah di pipinya bahwa ia mungkin akan menghindar jika aku melakukan sesuatu.

Senda-kun memang orang yang hebat, tetapi ia terlalu bersikap sederhana.

Aku bisa tahu kalau Asatani-san begitu bergantung padanya, tetapi ia masih mendiamkan dirinya sendiri. Aku menyadari kalau aku hanya melihat hal-hal apa adanya yang dimaksudkan untuk dilihat.

Orang-orang menjadi hanyut. Orang-orang menjadi rentan jika mereka didorong. Semua itu, hanyalah asumsi yang aku buat dengan pandangan bias.

"....Kalau begitu, aku mau berbelanja lalu pulang setelah itu."

Dia mengatakan hal itu begitu mendadak sehingga aku hampir memanggilnya untuk menunggu.

Aku tidak punya hak untuk menahannya. Aku mengambil waktunya begitu banyak, mengganggunya.

Dan saat ini, tanganku bergerak.

Meskipun aku tahu seharusnya aku tidak melakukannya, aku meraih ujung seragam Senda-kun.

Ia berhenti. Aku bisa mengerti kalau wajahnya menjadi panas. Tetap saja, aku agak kesal ia tampak terburu-buru untuk pergi, jadi aku mengatakan sesuatu untuk mendapatkan reaksinya.

"Senda-kun... Apa kamu tipe orang yang merasa malu ketika orang-orang berterima kasih padamu?"

Aku merasa malu ketika aku memikirkan kembali tentang itu. Meskipun aku, diriku, tidak mampu untuk bersikap tenang, aku mengatakan sesuatu seperti itu.

"Tidak, maksudku, itu bukanlah sesuatu yang kamu harus berikan rasa terima kasih....."

Jika kamu tidak menerima ini dengan kata-kata, biarkan aku berterima kasih padamu dengan beberapa cara yang lain kalau begitu. Itulah yang aku pikirkan. Perasaanku begitu maju sehingga aku tidak berpikir bahwa aku bisa berpura-pura untuk tenang sama sekali.

Apa yang terjadi setelah itu, bahkan sekarang, aku mengingatnya dengan jelas. Rasa senang yang jauh lebih besar dari rasa malu sehingga aku tidak bisa apa-apa selain merasa bahagia.

Ia mengantarkanku ke stasiun, dan kami saling melambaikan tangan.

Aku penasaran apakah dia akan terganggu jika aku tiba-tiba turun dari kereta api sebelum pintunya tertutup.

Aku tidak akan pernah bisa untuk melakukan hal semacam itu, tetapi itu lucu dan seru untuk berpikir tentang itu. Lalu...

Aku melihat pemandangan peron dari kereta api selagi itu mulai bergerak. Di sisi lain jalur aku melihat sesosok yang mengenakan seragam SMA Hekiou.

Aku tidak tahu mengapa dia berada di sana. Aku bahkan tidak tahu apa dia memperhatikan kami. Ketika aku menyadari kalau dia berada di sana, dia tidak sedang melihatku.

Tiba-tiba, jantungku mulai berdenyut. Aku harap aku bisa menelepon, bersurel, atau menggunakan media sosial untuk menghubunginya di saat yang seperti ini. Semua hal yang bisa kulakukan adalah mentraktirnya sekaleng minuman dan memberikan itu padanya sebelum aku pulang. Aku mengingat itu dan meringkuk di mejaku.

(Jika saja aku menanyakan Senda-kun tentang informasi kontaknya, itu mungkin akan terlihat seperti aku ingin Senda-kun untuk terus memperhatikanku... aku tidak bisa menanyakannya hal itu.)

Aku belum pernah merasa begitu iri dengan orang-orang yang bertukar informasi kontak secara spontan setelah hanya sekali bertemu. Aku berpikir bahwa aku seharusnya bertukar alamat ketika aku membutuhkannya atau jika mereka bertanya, yang mana itulah kesalahan besar dalam caraku berinteraksi dengan seseorang.

Jika aku benar-benar ingin menanyakan seseorang tentang informasi kontak mereka, aku akan menanyakan mereka sendiri. Tetapi jika Senda-kun menolak... Hanya memikirkannya saja membuat hatiku sakit dan aku akan takut berangkat ke sekolah besok.

Aku mendapati diriku duduk di depan meja selama satu jam lagi, dan meskipun aku harus membuka buku latihanku, aku bahkan tidak bisa menyelesaikan setengahnya. Ini hampir waktunya untukku buat mandi.

Aku tidak bisa menunjukkan rasa maluku pada Senda-kun, yang duduk dekat denganku.

Jika kami duduk sangat dekat satu sama lain, kami mungkin bisa saling mengobrol lagi.

Mulai memikirkan tentang itu, aku penasaran apakah Watanabe-san, yang posisi bangkunya di belakangku, akan mampu melihat ke papan tulis jika aku duduk di depannya. Aku mulai bertumbuh lebih tinggi ketika aku masuk SMP dan aku selalu ditegur untuk di bagian belakang kelas.

(Kembali ke kelas... Jika aku akan bertukar posisi bangku dengan Watanabe-san... mungkin aku bisa duduk dengan Senda-kun...)

Aku menggelengkan kepalaku pada pemikiran yang terlintas di benakku.

Jika Watanabe-san tidak bisa melihat papan tulis, kami akan bertukar posisi bangku. Aku pikir itu ide yang meyakinkan. Ini bukan seperti aku ingin itu terjadi hanya karena keinginanku saja.

Tetapi setelah aku memikirkan tentang itu, semua bisa kupikirkan adalah andai aku bisa duduk di sebelah Senda-kun.

Aku tidak bisa menyelesaikan tugasku sampai ibuku memanggilku untuk mandi. Semua yang bisa kupikirkan saat itu hanyalah ia.

Senda-kun selalu datang pagi-pagi ke sekolah, tetapi dia tidak pernah berada di sana mendahuluiku.

Aku selalu berangkat ke sekolah 30 menit sebelum mulainya sekolah, dan aku tahu aku tidak akan melihatnya pada pukul segitu, jadi ketika aku melihatnya mengendarai sepedanya melalui pintu gerbang sekolah, aku bergegas berlari ke arahnya.

Aku tidak percaya kalau aku mengikutinya ke tempat parkir sepeda. Itu hampir tampak seolah-olah aku memiliki perasaan khusus terhadap Senda-kun. Ia tampak terkejut pada awalnya, tetapi ia tidak menanyakanku apa-apa.

Kami mengobrol tentang aktivitas klub, dan aku berhasil untuk memintanya untuk memberi tahuku ketika ia telah memutuskan di klub mana ia akan bergabung.

Lalu, ketika kami baru saja ingin pergi dari tempat parkir sepeda, aku mengumpulkan keberanian untuk menanyakannya...

"Kurasa sudah waktunya.... Haruskah kita pergi sekarang?"

"Iya, begitu... kamu ingin mengobrol denganku?"

Aku bahkan masih belum mendapatkan informasi kontaknya, dan ketika aku berpikir ia akan menolakku, aku merasa menderita dan depresi.

Itu cuma kemarin yang spesial. Alasan mengapa Senda-kun mengantarku adalah karena ia baik hati.

Aku mencoba meyakinkan diriku tentang itu, tetapi aku tidak bisa.

"Mari kita pergi...?"

Anjingku, Cocoa, selalu tampak putus asa dan sedih ketika ia melihatku pergi ketika aku jalan-jalan. Aku yakin kalau aku tampak sama putus asanya dan sedihnya dan sedihnya saat ini dan itu tampak di wajahku dengan jelas.

Itu sama seperti bilang kalau aku ingin bersamanya, bahkan jika itu hanya sedikit lebih lama. Jika aku membuat permintaan seperti itu, itu mungkin akan berakhir dengan menyebabkan masalah untuk Senda-kun.

Senda-kun tampak seperti sedang banyak pikiran. Aku hampir menyerah, memikirkan itu akan lebih baik jika pergi ke kelas dengan berpencar jika ia terganggu dengan itu.

–Tetapi setelah itu Senda-kun tersenyum ke arahku.

"Iya, mari kita pergi."

Pada saat itu, aku memutuskan bahwa aku seharusnya menghabiskan lebih banyak waktu dengan Cocoa ketika aku sudah pulang hari ini.

Perasaan yang kamu dapatkan ketika orang yang kamu inginkan, meresponsmu secara positif memang sangat hebat. Aku tidak berpikir itu berpikir itu mungkin untuk merasa bahagia sehebat yang rasakan waktu itu.

Meskipun aku bisa melihat para senpai dari klub tenis menunggu di depan pintu masuk sekolah, aku tidak merasa gelisah selama aku bersama Senda-kun.

Tetapi... di SMP, kapanpun aku mengobrol anak-anak cowok di depan orang-orang, pasti ada rumor tentangku.

"Apa mereka berdua pacaran?"

Itu adalah suara Yamaguchi-san dari kelas kami. Aku bisa tahu dari memantaunya kalau dia adalah orang yang tidak ragu-ragu untuk mengatakan apa yang dia pikirkan.

Aku tidak berpikir kalau itu adalah sebuah hal yang buruk, tetapi ketika Senda-kun bilang kalau ia ingin pergi ke kelas bersamaku, itu hanya karena ia baik hati.

Itulah ketika aku menyadari ketika salah satu siswi yang bersama Yamaguchi-san melihatku.

Kiri Asatani-san. Dia adalah orang dengan pancaran alami yang selalu berada di tengah-tengah siswa-siswi di ruang kelas, mencerahkan suasana hanya dengan berada di sana.

Caranya melihatku tidaklah hangat maupun dingin. Itu tidak memiliki suhu sama sekali.

Ketika dia mengobrol dengan Senda-kun, dia selalu memiliki senyum di wajahnya dan ekspresinya memang cerah. Itu cukup untuk membuatku silau, tetapi saat ini ada sesuatu yang berbeda.

"Sangat buruk untuk memulai rumor. Mereka akan mendengarnya."

Mungkin aku hanya membuat asumsi. Atau mungkin hanya merasa terlalu sadar diri karena aku bersama Senda-kun.

Tetapi bagaimana jika ini bukanlah imajinasiku semata?

Kemarin...apa yang kulihat dari dalam kereta api. Pada waktu itu, orang yang menatap Senda-kun adalah...

"....."

"Takane-san?"

Ketika aku mendengar Senda-kun berbicara padaku dengan perhatian, aku pikir kalau aku tidaj seharusnya memberi tahunya tentang ini saat ini. Aku tidak tahu apakah Asatani-san menginginkanku untuk memberi tahunya.

"Tidak, ... ini baik-baik saja. Bukan apa-apa kok."

Ketika aku berkata begitu, Senda-kun terlihat sedikit menunduk.

Dari waktu aku memasuki bangunan sekolah sampai waktu aku sampai ke ruang kelas, aku memikirkan apa yang benar-benar ingin kukatakan, lalu...

"Aku tidak mempedulikan apa yang orang-orang bilang... Senda-kun adalah orang yang sangat baik hati. Aku sangat senang sekali bisa berbicara dengan Senda-kun."

Senda-kun terlihat agak terkejut.

Mengingat senyuman malunya itu di wajahnya, itu membuatku ingin menggodanya lagi. Aku duduk di bangkuku lalu aku berbalik arah untuk melihat Senda-kun, yang duduk secara diagonal di belakangku di samping kanan. Ketika mata kami saling bertatapan, kami berdua tersenyum satu sama lain.

Aku masih belum tahu apa yang terjadi di antara Asatani-san dan Senda-kun.

Tetapi, ketika aku memikirkan cara Asatani-san melihatku, itu tidak butuh waktu lama sampai aku mengetahuinya.


←Sebelumnya         Daftar Isi            Selanjutnya→


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama