Author Note:
Selamat Tahun Baru*! (TL Note: 2020; di mana bab ini dirilis.)
Terima kasih karena tetap setia mendukung kami sampai saat ini.
Selamat membaca!
Bab 125Sang Cewek Pemimpi Mengingat Sekilas
(TL Note: Sama seperti di bab sebelumnya, bab ini menggunakan sudut pandang Aika, dan bukan sudut pandang narator seperti di versi LN!)
"Maafkan aku, Natsukawa!"
Tiba-tiba, Wataru membungkuk padaku. Permintaan maaf yang tiba-tiba itu membuatku bingung. Saat aku melihat rambut coklatnya, yang mulai menghitam di bagian akarnya, aku pun merasakan nostalgia.
"Meskipun kamu mendorongku, aku tidak akan gentar, nyatanya, setiap doronganmu malah akan membuatku semakin merindukanmu. Kalau kamu pikir-pikir dengan normal, aku ini benar-benar cowok yang aneh dan gila, bukan?"
Aku penasaran apa maksud omongannya? —Menurutku, "Aku tidak tahu..." tetapi aku setuju dengan apa yang ia katakan. Memang benar, akan jadi masalah kalau orang yang kamu dorong malah merindukanmu. Isi dari omongannya sendiri itu cukup masuk akal. —Tetapi Wataru sampai tiba-tiba mulai bicara kayak gitu sepertinya bukan hal yang tepat.
(Mengapa tiba-tiba ia bilang begitu? —Eh?)
Aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata yang ingin aku balas. Yang bisa aku lakukan cuma menatap wajah Wataru, yang menatapku seakan-akan ia baru menyadari sesuatu. Namun, anehnya, aku tidak pernah mempertanyakan diriku sendiri kayak gitu. Terlebih lagi, aku merasa kalau ini bukan pertama kalinya aku merasakan adegan ini dan sensasi dari kata-kata yang ia lontarkan secara tidak terduga kayak gitu padaku.
"Semakin kamu mendorongku, mestinya aku semakin sadar. Kalau kamu sangat tidak suka dengan itu, mestinya aku tidak akan mendekatimu lagi. Hubungan manusia biasanya berjalan seperti itu, bukan? — Makanya, aku akan berusaha melakukan apa yang "wajar" untuk dilakukan, dan berusaha membaca situasinya dan suasana hatimu. Aku akan berusaha menenangkan diriku yang biasa, jadi mari kita akrab mulai sekarang juga."
(Itu mustahil!)
Aku terkejut sangat mendengar kata-katanya. Aku penasaran, apa yang akan ia katakan dengan raut wajah penuh pengertian yang tidak aku mengerti... Mungkin ada baiknya ia akan mulai membaca situasinya dan suasana hatiku saja? Apa ia akan menenangkan dirinya? Itu pasti hal paling mustahil yang pernah dilakukan cowok ini. Tidak peduli seberapa keras aku menjauhkannya dariku, tidak peduli seberapa keras aku meneriakinya, tetapi ia tetap menempel padaku. Ada pula saat-saat ia pernah mengintimidasi cewek-cewek di sekitarnya yang datang untuk memperingatkannya. Tidak peduli berapa kali aku mencoba untuk berbicara padanya, tetapi ia tidak pernah mau mendengarkanku, jadi siapa cowok yang sedang bicara padaku saat ini?
"Jangan ikuti aku!"
"Ah!"
Apa-apaan yang ia bicarakan itu—?
"Ka-Kamu... ...apa kamu benar-benar tidak akan datang?"
"Eh...?"
....
(...Eh...?)
Aku merasakan perasaan tidak nyaman. Aneh... ...aku merasa seperti pernah mengalami perasaan aneh ini sebelumnya. Rasanya seakan-akan aku telah memegang sesuatu dan ternyata yang aku pegang itu air, rasanya seakan-akan aku telah menyentuh air dan ternyata yang aku sentuh itu udara, rasanya seakan-akan ada sesuatu yang menyelinap di celah di antara jari-jariku, rasanya seakan-akan aku telah tertipu.
Itu benar, Sajou Wataru yang aku kenal memang kayak gitu. Aku pernah melihatnya, seseorang yang tidak pernah mencoba untuk menyerah, mundur begitu saja seakan-akan itu merupakan hal yang normal.
Seorang cowok yang menghilang dari sisiku. Pada saat ia mestinya selalu ada di tempat itu sepanjang waktu, tiba-tiba aku berkeliaran di sekeliling ruang kelas, dan aku mendapati ia tidak ada di sana, atau kalaupun ia ada di sana, ia sedang bicara dengan seseorang yang jauh, di luar jangkauan pendengaranku.
Ketidaksabaranku yang lahir dari penimbunan hal-hal semacam itu. Perasaanku yang egois dan berpusat pada diriku sendiri dan bukan sesuatu yang patut dipuji. Ilusi seakan-akan "keberadaan seseorang" telah direnggut dariku.
Aku mendapatkan banyak teman. Aku mengundang mereka ke rumahku. Namun, aku merasa seakan-akan "tempat" yang selama ini aku anggap remeh mulai meleleh. Sesuatu yang terbakar dan berubah jadi abu dan penuh lubang, berbanding terbalik dengan sesuatu yang mengisi hatimu.
"Bukannya dia sendiri yang bilang kalau seseorang yang menjijikkan kayak aku, yang juga dapat memberi pengaruh negatif pada Airi-chan, tidak boleh mendekatinya?"
Hentikan! Karena aku sudah paham apa yang kamu lakukan. Aku paham kalau kamu sedang membaca suasananya. Aku paham kalau kamu berusaha menjaga jarak dariku karena kamu takut orang lain khawatir padaku. Makanya, sekarang kamu cukup katakan saja.—
"—Begitulah, kami sudah tuntas dengan hal semacam itu."
Jangan tinggalkan aku sendirian.—
"—...!?"
Saat itu sedang fajar. Di kamarku yang remang-remang dan sunyi ini. Meskipun aku baru saja terbangun, tetapi tidak ada tanda-tanda kalau aku tertidur atau bermimpi. Saat aku menggerakkan lututku di ranjangku, aku mendengar suara handuk yang bergesekan satu sama lain.
(...Wataru...)
Aku cuma bisa mengingat dua hal yang terlintas dalam benakku. Saat Sajou Wataru muncul di tempat kejadian dan fakta bahwa aku merasa seperti aku akan kehilangan sesuatu. Itu memang mimpi yang menakutkan. Aku tidak bisa mengingat sesuatu secara spesifik. Entah apa mimpiku menakutkan atau tidak, tetapi benar atau salahnya dapat dibuktikan dengan jumlah keringat yang bercucuran di leher dan dadaku.
(...Dasar bodoh...)
Aku sadar kalau akulah yang melampiaskan kekesalanku padanya. Tetapi tetap saja, aku merasa ingin mengeluh soal sesuatu padanya paling tidak sesekali. Aku memang tahu apa yang terjadi kemarin. Tetapi tetap saja, pasti ada beberapa emosi yang aku lupakan setelah aku tidur sepanjang malam.
Aku mencabut kabel pengisi daya dari ponsel pintarku di atas meja di samping ranjangku. Aku bangun dari ranjangku dan mengoperasikan ponsel pintarku, dan membuka grup yang terdiri atas tiga orang, termasuk sahabatku dan "cowok itu". Di saat itulah aku menyadari. Entah mengapa, aku merasa kalau aku tidak lagi berada dalam posisi untuk mengeluh soal sesuatu padanya tanpa makna apa pun.
"...Dasar bodoh."
Aku tidak merasakan kelelahan fisik apapun. Kayaknya aku baru saja terpengaruh oleh sisa-sisa musim panas ini. Mungkin saja aku tidur dengan handuk yang menutupi tubuhku dengan rapat, tetapi hal itu mungkin punya dampak negatif. Aku menatap jam dinding dengan mata yang sayu, waktu menunjukkan pukul 04.30 pagi. Tidak ada seorang pun di sampingku, jadi tampaknya ini bukan "hari di mana aku terbangun karena adikku tersayang menepuk-nepuk lututku".
(...Aku tidak mengantuk.)
Tidak, tidak, ini agak terlalu pagi. Sebenarnya ini bukanlah hal yang aneh. Mengingat ritme hidupku yang berkisar pada adikku tersayang, aku bisa bilang kalau aku sudah cukup tidur. Selain itu, aku merasa aku tidak bisa tidur lagi. Aku masuk sekolah hari ini.— Kalau aku tetap terjaga dan bersiap-siap, aku mungkin bisa meringankan beban Ibu. Iya, mari kita lakukan itu.
Aku pun perlahan menyeka bagian bawah dada dan punggungku yang basah oleh keringat dengan lap kain yang dingin.
♦
"..."
Semakin aku memikirkan hal itu, semakin aku merasakannya. Itulah rasa frustrasiku pada Sajou Wataru.
Rasa frustrasiku yang terdiri atas berbagai emosi yang bercampur aduk. Saat aku uraikan satu per satu, sebagian besar terdiri dari ketidakpuasan, kecanggungan dan penyesalan.
Di antara penyebab paling umum dari ketidakpuasanku yaitu kenyataan bahwa aku masih belum bisa menghilangkan keraguanku soal dirinya. Ada banyak hal yang belum bisa aku hadapi secara teratur. Hal ini juga sebagian untuk menghindari putusnya hubungan di antara kami bertiga, itu termasuk dengan sahabatku, Ashida Kei. Tetapi, aku yakin kalau aku bisa memahaminya dan menerimanya dalam benakku.
"Kami sudah bukan seperti itu lagi". Pernyataan inilah yang memicu ketidakpuasanku.
Kok bisa ia kenal dengan "Shinomiya Rin" yang itu?
Mengapa ia begitu dekat dengan "Shinomiya Rin" yang itu?
Di mana ia bekerja paruh waktu?
Kok bisa ia akrab dengan Ichinose Mina, teman sekelas kita?
Mengapa dia sangat menempel padanya?
Apa ia sudah pernah bertemu dengan cewek SMP yang tampak dewasa itu lagi sejak "saat itu"?
Seberapa dekat hubungannya dengan kakaknya?
Apa itu normal buatnya kalau ia memanggil seorang cewek dengan nama panggilannya cuma karena mereka berdua bersekolah di SMP yang sama?
Bukannya ada banyak cewek yang tampaknya lumayan ramah padanya di sekelilingnya?
(Tung-Tunggu sebentar...)
Aku menguraikan pertanyaan-pertanyaan itu, merekamnya di dalam kepalaku, lalu aku merasa kalau aku terlalu cemas. Kalau dipikir-pikir lagi, aku rasa ada banyak macam hubungan dengan lawan jenis di dunia ini. Aku paham mengapa aku tidak bisa menanyakan itu dengan santainya padanya. Aku merasa malu pada diriku sendiri karena mengkhawatirkan hal itu.
Tetapi tetap saja, kalau saja "kejadian kemarin" itu tidak ada. Kalau aku tetap tidak sadarkan diri, aku mungkin bisa bertanya padanya di suatu tempat. Meskipun aku akan segera tiba di sekolah dan kami akan segera bertemu, tetapi kayaknya "kecanggungan ekstrem" yang telah memudar setelah tidur sepanjang malam telah kembali lagi padaku.
"—Ah! Ngomong-ngomong soal itu!"
"...!"
Aku mendengar suara dan melihat ke atas. Saat aku menengok, aku mendapati ada sahabatku, Kei, melambaikan tangannya di depan pintu masuk sekolah. Aku penasaran apa dia baru saja selesai olahraga pagi? Aku rasa suasana hatinya sedang bagus, berbeda jauh dari "suasana pagi"-ku, yang membuatku agak kecewa.
"Selamat pagi, Aichi! Bolehkah aku memelukmu!?"
"Selamat pagi, Kei. Cuacanya sedang panas, jadi tolong hentikan."
Dia datang tepat di depanku dan melompat-lompat dengan postur seakan-akan dia akan menerkamku kapan saja. Aku mengulurkan tanganku ke depan dan menghentikannya. Cuacanya masih panas, dan aku merasa enggan bersentuhan langsung dengan tubuhnya yang berkeringat saat aku akhirnya tiba di sekolah.
Aku tersenyum pahit saat aku melihat mulutnya yang cemberut, tampak agak kecewa.
"Selamat pagi, Natsukawa."
"Selamat pa— Ah...!"
Ia menyapaku dengan salam yang biasa saja. Ini memang peristiwa rutin yang terjadi di pagi hari. Aku secara refleks membalas dan melihat ke arah sumber suara itu. Aku berhenti bernapas sejenak saat aku melihat cowok di seberang Kei.
(—Wataru...)
Ada senyuman masam di wajahnya, sama seperti di wajahku. Apa itu cuma karena Kei yang sedang terlalu bersemangat, sampai-sampai ia tampak agak gelisah? Mana mungkin kayak gitu, setelah apa yang terjadi kemarin, mustahil kalau ia tidak merasa canggung. Ia mungkin cuma berpura-pura tidak terjadi apa-apa, dan menganggap ini "cuma pagi yang biasanya". Mungkin, kayak biasanya.—
(Ah...!)
Angkat saja tanganmu dengan ringan dan ucapkanlah "Selamat pagi". Itu merupakan sesuatu yang sederhana dan bisa dilakukan oleh semua teman sekelas dengan mudahnya. Namun, aku tidak bisa menyapa Wataru, yang menatap lurus ke arahku. Yang bisa aku lakukan cuma menundukkan pandanganku, sementara sudut mulutku bergerak-gerak. Tidak, ini terlalu tidak wajar.
"...? Apa terjadi sesuatu pada kalian berdua?"
"...!"
"Eh? Ti-Tidak? Tidak ada apa-apa, kok?"
Kei, yang bibirnya sedang cemberut, melihat ke sekeliling secara bergantian ke arah Wataru dan aku dengan wajah yang kaget, seakan-akan dia telah menebak sesuatu. Aku merasa jantungku seperti mau copot dari dadaku, tetapi Wataru segera membantuku untuk menutupinya. Itu memang bukan respons yang wajar, tetapi aku tahu kalau itu masih lebih baik ketimbang aku yang menelan ludah sebelum aku bisa menjawabnya dan mengatakan apa-apa.
"Panas sekali, mari kita segera ke kelas."
"Aku sudah terbiasa."
"Itu gawat, bukan?"
"Ini tidak gawat, sih."
"..."
Wataru segera mengalihkan topik pembicaraan. Aku paham apa yang coba ia lakukan. Aku penasaran apa aku pernah bisa membaca gerak-geriknya dengan baik kayak gini sebelumnya. Aku penasaran apa ia pernah mengelabuiku kayak gini sebelumnya. Saat aku mengundangnya ke rumahku. Saat kami sedang berduaan di halaman sekolah. Lalu, saat kami pulang bersama.
Aku penasaran apa aku pernah sekalipun mengetahui perasaannya yang sesungguhnya.
"Sajocchi, beberapa waktu yang lalu, kamu biasanya sering berlarian di malam hari, bukan? Musim panas itu kesempatan yang tepat buatmu mulai berlari lagi. Kamu dulu sudah terbiasa, bukan?"
"Tidak, aku belum terbiasa. Memangnya kesempatan yang tepat macam apa itu? Begini, saat aku sering berlari itu, itu karena aku berlari demi suatu tujuan— ...Ah?"
"Wah...? Apa yang kamu jatuhkan dari situ, Sajocchi—Hmm!?"
"Eh...?"
Sambil memikirkannya, aku mencoba mengganti sepatuku, tetapi saat aku melihat ada sesuatu yang jatuh dari sudut pandanganku, aku pun terdiam. Menurutku itu tidak jatuh lebih dari satu detik, tetapi aku masih sempat baca beberapa kata dengan cermat.
Selembar kertas kop surat berwarna putih dengan "Untuk Sajou-kun" tertulis jelas dalam tulisan tangan seorang cewek. Keempat tepinya disegel dengan lak (sealing wax) berwarna pucat.
(Sebuah surat cinta untuk Wataru—...? Untuk Wataru...—?)
Rasanya seperti aku hampir dapat mengingat mimpi yang aku alami hari ini.
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/
Baca juga dalam bahasa lain: