Bab 75Sang Dewi Punya Firasat
"Namaku Sasaki Takaaki, dan aku akan jadi pemandu kalian. Aku harap dapat bekerja sama dengan kalian hari ini."
"Demikian pula, aku Natsukawa Aika. Aku harap dapat bekerja sama dengan kalian."
Kami meminta siswa-siswi SMP berbaris di depan pintu masuk sambil memegang papan bertuliskan nama SMP mereka. Banyak dari mereka yang berpaut kurang dari satu tahun dariku. Cuma ada enam orang cowok dari SMP itu, tetapi itu cukup jumlah cowok yang terlalu banyak untuk aku tangani dengan cara yang lebih seperti seorang senpai, jadi aku agak kewalahan.
Aku pikir ini merupakan waktu yang tepat buatku dan Sasaki-kun untuk melakukan banding. Karena rute tur sudah ditentukan, jadi kami berjalan perlahan dan menjelaskan soal tradisi sekolah, ruang kelas, dan fasilitasnya. Aku melanjutkan tur dengan agak melebih-lebihkan, menekankan fakta kalau SMA ini sudah berkembang dengan cara yang berbeda dari SMP.
"Hei, hei, Senpai itu Natsukawa-san, kan? Senpai dulu bersekolah di SMP mana?"
"Eh?"
Di tengah tur, seorang cowok dengan rambut yang di-waxing mendekatiku dengan mengajukan sebuah pertanyaan. Aku tanpa sadar merasa terintimidasi oleh sikapnya, yang menurutku tidak pantas dilakukan pada seorang senpai.
"Iya, tolong jangan ajukan pertanyaan yang tidak sesuai."
"Ah...?"
"Eum..."
Sasaki-kun menyela di antara cowok yang mendekatiku dan aku. Kalian bisa melihat kalau Sasaki merasa terganggu dengan sikapnya yang bandel itu. Di belakangnya, siswa-siswi SMP lainnya terlalu tidak berdaya dan bingung untuk melakukan apa-apa.
Aku mesti menunjukkan sikap sebagai seorang senpai. Apa yang akan dilakukan oleh Shinomiya-senpai? Apa yang akan dilakukan oleh Kei...? ...Apa yang akan dilakukan oleh Wataru?
Saat aku memikirkan hal-hal semacam itu, aku menyadari kalau orang-orang yang muncul dalam benakku itu orang yang menjalankan dengan ikhlas tanpa pamrih.
"SMA ini tidak membutuhkan siswa-siswi yang seperti dirimu."
"Eh?"
"Aku bilang SMA ini tidak menginginkanmu. Apa kamu tidak mendengarkanku?"
Seperti pramuniaga dan pelanggan, mereka mungkin mengira kalau kami tidak bisa bicara banyak. Dari sudut pandang SMA Kōetsu, mereka memang mau meningkatkan jumlah pendaftar baru sebanyak mungkin.
Tetapi tetap saja, ini merupakan SMA yang populer. Ini memang ungkapan yang berlebihan, tetapi SMA ini dekat dengan daerah pemukiman, biaya pendidikan yang rendah, dan merupakan SMA terpadu jadi bisa digunakan untuk ujian masuk universitas. Setelah aku pikir-pikir, aku mulai menganggap kalau kami tidak perlu repot-repot membuat penjelasan yang rinci mengenai SMA kayak gini untuk menarik minat para pendaftar.
Makanya, aku menganggap cowok macam ini tidak perlu disikapi dengan rendah diri.
"Terlepas dari cowok ini..., kami akan memberikan tur yang bagus untuk kalian. Ayo, ikuti kami."
Aku menekankan sikap buruknya agar tidak merusak reputasi SMP itu sendiri, dan kami melanjutkan tur. Aku mendorong punggung Sasaki-kun, yang tampak agak terkejut dan melanjutkan seakan-akan tidak ada yang terjadi. Dalam situasi semacam ini, orang yang marahlah yang akan kalah. Aku memang takut, tetapi Sasaki-kun juga ada di sini. Mari kita lakukan yang terbaik saat ini.
Saat aku menoleh ke belakang sambil berpura-pura bersikap tegas, cowok itu mengikuti di belakangku dengan canggung dan hening.
"...Natsukawa, kamu juga bisa bilang semacam itu, ya?"
"Aku sudah terbiasa melakukan hal semacam itu pada cowok lain."
"..."
Aku bilang begitu secara mendadak. Aku memang tidak bilang siapa orangnya, tetapi ia mungkin akan paham. Wataru, aku rasa ia sudah bicara pada Sasaki-kun sejak awal semester pertama. Lebih dari itu, dengan enggan, aku akui obrolan antara aku dan Wataru tampaknya sudah jadi agak istimewa.
...Aku penasaran, apa yang dilakukan Wataru sekarang, ya?
"Eum! Seragam sekolah ini imut, bukan!"
"Iya, itu benar. Itulah salah satu alasan mengapa aku bersekolah di sini."
Kami melanjutkan tur sambil berbasa-basi dengan cara yang "benar".
Beberapa informasi soal SMA ini yang sudah aku baca dari materi itu menarik minatku dan mudah diingat. Berkat ini, aku dapat dengan lancar menjelaskan ruang kelas yang belum pernah aku datangi sebelumnya dan berjalan dengan lancar.
"Kita sudah selesai melakukan tur sekolah. Apa ada yang punya pertanyaan?"
"Iya—."
Aku memang 50/50, ...tetapi Sasaki-kun cuma dapat pertanyaan dari cewek-cewek, yang membuatku tersenyum masam. Mau bagaimana lagi, itu karena ia sangat tampan. Mungkin cowok-cowok yang lebih muda punya pertanyaan yang mau mereka tanyakan juga. Mungkin mereka tidak membuka mulut mereka karena mereka agak cemburu pada Sasaki-kun.
Setelah menjawab beberapa pertanyaan, kami makan siang. Entah mereka bawa bekal makan siang atau tidak, kami menuntun mereka ke kantin, yang disediakan khusus untuk hari ini, dan meminta mereka duduk di bangku yang sudah ditentukan.
"Setelah ini, akan ada presentasi video di gimnasium pada pukul 1 siang. Oleh karena itu, setiap orang diharapkan makan siang sebelum itu dan dilanjutkan ke kegiatan itu, jadi harap berhati-hati."
"Cuma itu panduan yang bisa kami sampaikan pada kalian hari ini. Setelah itu, kalian boleh mengunjungi ekskul. Kalian bebas untuk pulang, jadi kalian bisa bebas berkeliling sesuka kalian."
"Iya! Dimengerti!"
Tugas kami sudah berakhir di sini. Kami kembali ke Ruang Konferensi untuk Panitia Uji Coba Kunjungan Sekolah, makan siang dan pergi ke gimnasium 45 menit setelah presentasi video untuk siswa-siswi SMP dimulai. Itu memang tugas yang cukup singkat waktunya, tetapi aku merasa cukup lelah secara mental.
"Sulit untuk berurusan dengan siswa-siswi SMP, ya."
"Apa benar begitu...? ...Aku rasa Sasaki-kun populer di kalangan anak SMP."
"Tidak, iya... ...makanya cowok-cowok jadi kesal padaku..."
"Ah... ...iya, aku rasa begitu."
Cowok-cowok yang bertindak sebagai pemandu semuanya tampan, termasuk para senpai, dan mungkin agak menyedihkan bagi cowok-cowok SMP yang mau membuat diri mereka tampak lebih keren. Tetapi, kalau mereka bersikap kayak gitu, aku tidak akan punya kesan yang bagus pada mereka.
Saat kami kembali ke Ruang Konferensi, hampir sepuluh orang senpai sudah kembali. Aku merasa lega mengetahui kalau kami bukan satu-satunya yang menyelesaikan tur secara singkat.
Aku melirik ke bangku tempat para anggota Komite Disiplin duduk, tetapi tampaknya tidak ada satupun dari mereka yang kembali. Bangku-bangku itu ditumpuk tinggi di ujung ruangan, seakan-akan ada yang telah mengatur itu. Apa mungkin mereka tidak akan kembali...?
"Jadi, Natsukawa, di mana kita akan makan siang bersama?"
"Eh—?"
Apa kami akan makan siang bersama? Itu memang cuma pertanyaan belaka, tetapi itu mungkin wajar mengingat situasi yang terjadi saat ini. Normalnya, Sasaki-kun dan aku akan makan siang masing-masing kalau kami tidak makan siang bersama. Aku sadar kalau bukan cuma kami yang ada dalam situasi semacam itu. Wataru... ...Aku penasaran apa ia akan kembali?
Sasaki-kun tampaknya membawa kotak bekalnya sendiri kayak aku. Begitu ia membuka bungkusnya, Sasaki-kun jadi tampak agak canggung. Saat ia membelakangiku dan tampaknya melakukan sesuatu pada bekalnya dengan sumpit yang ia keluarkan.
"Tidak, ini bukan buatanku..."
"Ah, begitu, ya."
Saat aku melihat nasi yang agak tercampur itu, aku mendapati itu ditutupi dengan adonan berwarna merah muda yang berserakan di atasnya. Selain itu, telur dadar panjang dan tipis berbentuk seperti huruf hancur di atasnya. Ini.. ...mungkin pada awalnya tampak imut.
"Hmm, sayang sekali."
"I-Itu memalukan, mohon dimaklumi, ya."
Ekspresi malu Sasaki-kun itu hal yang baru buatku. Aku selalu membayangkannya sebagai cowok keren yang bisa mengatasi apapun tanpa hambatan, dan ini mungkin pertama kalinya aku melihatnya kesal kayak gini. Aku yakin ia juga kayak gini di rumahnya...
Aku juga membentangkan kotak bekalku dan menyantapnya. Kami berdua sudah sering makan siang bersama kayak gini beberapa kali sejak liburan musim panas, tetapi Sasaki-kun selalu punya sesuatu yang baru untuk diceritakan padaku. Aku mungkin bukan orang yang banyak bicara, jadi aku sangat menghargainya kalau ia bicara padaku kayak gini.
Tetapi aku rasa ia tidak perlu memaksakan diri padaku... ...Terkadang, aku merasa ia berusaha keras untuk mempertahankan obrolan. Ia tidak perlu terlalu peduli, aku tidak keberatan, sih...
"..."
Aku melihat ke pintu masuk ke Ruang Konferensi. Biarpun aku sudah lama di sini, tetapi tidak ada tanda-tanda Wataru atau anggota Komite Disiplin akan kembali. Apa mungkin mereka sedang istirahat di tempat lain?
Pada akhirnya, Wataru tidak kembali setelah makan siang selesai.
♦
Seorang senpai anggota Komite Disiplin memanggil kami untuk pindah ke gimnasium. Di dalam gimnasium, siswa-siswi SMP yang berkunjung sedang duduk dalam barisan berdasarkan SMP masing-masing. Saat kami dipandu ke bagian depan di sebelah kiri, aku sadar kalau para anggota Komite Disiplin ada di depan kami.
—Ah, Wataru...
Cuma ada tiga orang di depan kami. Ada sosok yang tidak asing di sana. Wataru sedang menyaksikan video yang sedang diputar di depannya, dan tampaknya melihat ke arah siswa-siswi SMP dari waktu ke waktu. Aku jarang melihat wajahnya yang datar kayak gitu, jadi rasanya agak menyegarkan.
...Eh?
Aku sadar saat aku mengamati Wataru dari kejauhan. Tidak banyak anggota cowok di Komite Disiplin...? Kecuali Senpai yang berbadan besar di sebelahnya, aku tidak melihat ada cowok lain lagi. Kalau kalian melihat lebih dekat, kalian bisa mendapati kalau mereka dikelilingi oleh cewek-cewek. Aku memang tidak berpikir begitu, tetapi aku hampir curiga kalau Wataru bergabung dengan Komite Disiplin dengan motif tersembunyi.
Setelah video tersebut selesai diputar, Ketua OSIS, Yūki-senpai, didampingi oleh kakaknya Wataru, naik ke atas podium dan memulai pidatonya. Dalam sekejap, terjadi kehebohan di antara siswa-siswi SMP. Mau bagaimana lagi, karena Yūki-senpai, Ketua OSIS, sangat berkilau bahkan melebihi Sasaki-kun. Aku sudah melihatnya beberapa kali sejak aku masuk ke SMA ini, tetapi seakan-akan aku meragukan kalau ia benar-benar ada di dunia nyata. Aku tidak tahu bagaimana kakaknya Wataru bisa ada di samping seorang cowok kayak ia. Kalau itu aku, aku mungkin akan pingsan.
Setelah itu, Shinomiya-senpai berdiri dari depan barisan tempat kami duduk dan naik ke atas podium. Dia berdiri dengan bangga sambil mengayunkan rambut hitam panjangnya yang dikuncir dan membanjiri tempat itu dengan kata-kata "Keren!" yang membuatku berpikir kalau dia bicara soal kebalikan dari Yūki-senpai, dan pada akhirnya dia meninggalkan kata-kata yang tampaknya merangkul semua orang di aula saat dia dengan anggunnya meninggalkan podium.
...Ke-Keren...
Tanpa aku sadari, aku mendapati diriku berdoa dengan kedua tanganku bersedekap di dadaku. Tidak heran kalau dia punya begitu banyak penggemar. Aku bisa paham mengapa Kei itu jadi salah satu penggemarnya. Itu benar-benar tidak disadari. Aku harap aku bisa seyakin itu. Aku mungkin tidak sekuat Kei, tetapi aku sangat mengaguminya.
Tampaknya mereka tercengang sejenak. Saat aku sadar, aku sedang mengamati siswa-siswi SMP yang meninggalkan aula sambil berjalan mengikuti lingkungan mereka. Masih ada perasaan yang mengganjal di hatiku. Aku merasa agak bingung, tetapi saat salah satu senpai anggota Komite Disiplin bertepuk tangan, aku mendapatkan kembali kesadaranku akan kenyataan.
"Baiklah! Kalian semua boleh bubar dari sini!"
"I-ya!"
Tanpa kami sadari, tugas kami sudah berakhir. Komite Disiplin mesti membereskan tempat ini setelahnya. Aku penasaran apa kami tidak perlu membantu juga, tetapi tidak ada seorang pun yang memanggil kami. Aku kira tidak apa-apa karena mereka punya cukup banyak orang.
"...Hmm."
Wataru... ...ada di sana. Ia mengangkat peralatan besar di atas panggung bersama Senpai anggota Komite Disiplin lainnya. Ia sedang bekerja keras, tidak berminat untuk bicara pada siapa-siapa. Melihatnya bekerja dengan sungguh-sungguh, aku kira ia tampak keren untuk sesaat.
"Natsukawa, mari kita pergi."
"Eh? I-Iya..."
Saat aku menengok ke belakang, aku mendapati ada seorang senpai dari kelompok yang memandu kami, yang dengan ramah menawarkan diri untuk membantu beres-beres. Aku baru saja akan bilang, "Kalau begitu, aku akan melakukannya juga," lalu Sasaki-kun memanggilku. Sementara sebagian besar siswa-siswi berbalik kembali ke gedung sekolah, aku, seorang siswi kelas sepuluh, tidak berani maju ke depan untuk memanggil namanya.
"Ah..."
Pada akhirnya, saat aku melihat Wataru di depan mataku untuk terakhir kalinya, aku dipenuhi dengan perasaan yang tidak tergambarkan. Lagipula, meskipun kami sudah lama tidak bertemu, kami tidak bertukar sepatah kata pun. Mungkinkah... ...ini kesempatan terakhir aku bertemu dengannya?
Aku meninggalkan gimnasium dengan sedikit rasa kesepian di hatiku.
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/
Baca juga dalam bahasa lain: