Yumemiru Danshi wa Genjitsushugisha [WN] - Seri 2 Bab 54 - Lintas Ninja Translation

baca-yumemiru-danshi-wa-genjitsushugisha-wn-ch-54-di-lintas-ninja-translation

Bab 54
Sang Dewi Membuka Matanya

(TL Note: Sedikit perbedaan dari versi LN, di mana di versi LN bagian ini menggunakan sudut pandang Narator, kalau di versi WN ini menggunakan sudut pandang Aika.)

Aku tidak bisa konsentrasi di kelas. Itu juga karena bagian belakang dadaku berdengung sepanjang waktu.

Aku tidak perlu mencari-cari alasan untuk marah, karena hal ini sudah berlangsung sejak cowok yang aku kenal jatuh pingsan. Aku terkejut saat ia jatuh dengan suara keras dan tidak bisa bangun. Aku kira ia akan segera bangun karena ia jatuh dengan suara bodoh, tetapi ternyata ada yang aneh, tetapi aku berlari ke arahnya, karena Ibu Guru panik.

 "Sajocchi...!? Hei, Sajocchi!?"

Sahabatku, Ashida Kei, dan teman sekelas cowok yang lain memanggilnya saat cowok itu terbaring lemas. Pertama kali aku datang, aku yang duduk jauh darinya dan cuma bisa melihatnya berbaring di wajahnya, dibopong oleh teman sekelas cowok itu, jadi aku tidak bisa melihat ekspresinya.

Saat Ibu Guru memanggilnya dan beberapa teman-teman cowok membopongnya, wajahnya baru tampak untuk pertama kalinya. Wajahnya, yang mestinya selalu tersenyum, jadi merah padam dan tampak tertekan, seakan-akan ia sangat kesakitan. Seakan-akan terseret oleh adegan itu, setiap detak jantung yang datang dari dalam dadaku, membengkak dan aku merasa seperti tercekik. Aku pasti tercengang saat menyadari hal itu, setelah ia dibopong, aku berdiri di sana sampai aku menyadari, kalau teman-teman sekelasku memanggilku.

(Apa ia akan baik-baik saja, ya...?)

Mungkin mencari cara agar pikiranku tetap tenang, aku barusan menoleh ke arah sahabatku. Mungkin aku harap dia melakukan kontak mata denganku dan bilang kalau cowok itu akan baik-baik saja, seperti biasanya. Meskipun begitu, dia cuma menatap bangku kosong di depannya dengan wajah yang tampak agak pucat.

Segera setelah jam pelajaran selesai, aku langsung menuju ke UKS. Sahabatku Kei, juga menemaniku. Saat aku mengetuk pintu dan masuk ke dalam, aku disambut oleh Shindou-sensei, Dokter UKS. Saat aku menceritakan soal pingsannya tadi, Dokter tampaknya paham maksudku dan bilang padaku kalau itu cuma gejala pilek biasa. Mendengar hal itu, aku merasa lega dan tanpa sengaja menghembuskan napas lega.

"Astaga, itu memang kondisi yang sungguh memprihatinkan."

Saat aku menjelaskan apa yang terjadi saat cowok itu pingsan, Dokter tampak tidak peduli. Aku penasaran apa aku satu-satunya orang yang berpikir kalau cerita itu mudah untuk diceritakan. Bagaimanapun, aku merasa lega mengetahui dari kondisinya kalau itu bukanlah kondisi yang sangat serius. Tetapi tetap saja, tampaknya itu pasti demam yang tinggi.

Dokter menyemprotkan alkohol ke tangan kami, kami mengambil masker dan masuk ke dalam kamar di balik tirai ranjang di dekat jendela tempat ia tidur. Aku dapat melihat betapa ekspresifnya ia setiap hari, dan ekspresinya saat tidur dengan mulut mingkem begitu itu sangat baru sampai-sampai aku merasa belum pernah melihat hal itu. Melihat ekspresinya yang kesakitan, aku tahu kalau kondisinya yang biasanya tanpa beban, bukanlah hal yang biasa.

"Kalian kembali saja sana, jam pelajaran berikutnya akan segera dimulai."

"Euh, ah–."

Dokter mendesak kami berdua untuk keluar ke koridor, seakan-akan kami berdua diusir di tengah jalan. Ekspresi khawatir di wajah sahabatku anehnya tampak mirip dengan perasaan yang aku alami.

Dia memang teman sekelasnya. Apa tidak sopan kalau dia juga punya kepedulian yang sama denganku padanya, persis seperti yang aku lakukan pada adikku saat aku melihatnya mengalami mimpi buruk, apa kepedulian kami soal demam ini juga begitu? Mau tidak mau, setiap kali aku mengingat kondisinya tadi, aku jadi teringat pada adikku, Airi, saat dia menangis di malam hari.

Ia sudah ada di UKS, dengan Dokter di sampingnya. Cuma dengan mengetahui hal itu saja sudah sangat lega buatku secara pribadi. Aku memang tidak tahu mengapa, tetapi saat ini ia tampaknya sedang berusaha untuk memaksa dirinya mencerna kesedihan dan penderitaannya. Sungguh melegakan mengetahui kalau Dokter UKS terus memeriksanya.

(Syukurlah... ─Mengapa aku sangat khawatir, sih?!)

Seakan-akan ada seseorang dari keluargaku sedang terbaring... Saat aku menyadari hal ini, wajahku jadi semakin panas, seakan-akan ini bukanlah perasaan yang akan aku miliki dengan seorang cowok, yang merupakan lawan jenis. Aku bicara pada sahabatku untuk menutupi perasaanku ini, dan pada saat kami kembali ke Ruang Kelas, aku sudah mendapatkan kembali ketenanganku begitu pula sahabatku.

Kami kembali ke Ruang Kelas sebelum jam pelajaran keempat dimulai. Kami diam-diam keluar dari UKS karena kami bisa saja membangunkannya kalau kami terlalu berisik. Terlebih lagi, tentu saja kami juga akan dimarahi oleh Shindou-sensei. Selain itu, aku juga khawatir akan dampaknya pada adikku, Airi, kalau aku sendiri juga tertular.

Jam pelajaran keempat berakhir sementara rasa frustrasi yang belum sepenuhnya tercerna mengganggu konsentrasiku. Melihat ke sekeliling, tampaknya hari ini persis seperti hari-hari biasanya, tetapi tampak di antara beberapa bangku yang kosong cuma ada satu orang yang tidak ada di ujung sudut pandanganku. Sebelum aku menyadarinya, bel tanda berakhirnya jam pelajaran sudah berbunyi.

Rasanya aneh kalau tidak ada cowok itu, meskipun ia punya kehadiran yang besar, baik atau buruk itu, meskipun ia duduk di bangku yang jauh dariku. ...Rasanya juga aneh untuk punya bangku kosong di depan bangku sahabatku, yang cantik dan serba bisa. Bagaimanapun, buatku, hubungan mereka berdua itu apa ya...?

(...Tunggu sebentar. Kalau itu soal Kei, mengapa kamu juga memikirkan cowok itu...)

Tiba-tiba, sambil berpikir dengan tenang, aku menyadari. Aneh, buatku "cowok itu" harusnya tidak terlalu terasa keberadaannya. Meskipun kami sudah saling mengenal cukup lama, namun sampai saat ini, aku masih merasa kesal padanya. Bahkan harusnya saat ini, aku sudah kesal padanya. Jadi, mengapa cowok itu memenuhi sebagian besar pikiranku?

"Wah...! Keren..."

"...?"

Ruang Kelas tiba-tiba mulai heboh dengan gumaman siswi-siswi. Aku mendongak, penasaran dengan situasi yang tidak biasa ini, dan mendapati seseorang yang beken berdiri di pintu masuk kelas.

"Hei, eum, ...Kamu itu Ashida-san, bukan?"

"Wah... ...iya, la-lama tidak jumpa!"

Shinomiya Rin-senpai. Dia itu Ketua Komite Disiplin SMA Kōetsu. Sahabatku, yang mengaku sebagai penggemar beratnya, berdiri di depannya dan menanggapi dengan sikap "hati-hati".

Kuncir kuda panjang yang diikat ke atas, bergoyang dengan anggun. Aku merasa dapat memahami rasa kagum sahabatku karena dia itu seorang cewek yang punya perilaku yang bermartabat.

(Apa jangan-jangan ini ada hubungannya dengan Wataru...?)

Saat aku memikirkan alasan kedatangannya ke kelas ini, wajah Wataru yang baru saja dibawa ke UKS muncul di benakku. Bagaimana mungkin dia, seorang senpai dan Ketua Komite Disiplin ini, bisa mengenal Wataru? Apa hubungan antara Senpai yang begitu populer ini dengan Wataru?

"Aku ke sini sedang mencari Sajou, tetapi... ...kayaknya ia tidak ada di sini saat ini, ya."

"Se-Sebenarnya..."

Shinomiya-senpai dan Kei dikerumuni oleh cewek-cewek dalam waktu 10 detik setelah kemunculan mereka bersama. Senpai diperlakukan seakan-akan dia itu idola cowok. Entah mengapa, Kei juga agak mirip dengan tipe yang seperti itu, ...dan dari segi gaya rambut, Kei lebih mirip dengan cowok...

"Fufu, ...Aichi..."

"...!"

Aku menggelengkan kepalaku dan menghapuskan khayalanku.

Yang satu ini tidak bagus. Meskipun potongan rambutnya seperti cowok, dia masih terlalu cantik untuk berpose sebagai cowok. Paling tidak, dalam benakku, dia itu orang yang bisa diandalkan dan sekaligus imut. Mana mungkin buatku untuk dipanggil olehnya dengan panggilan "Aichi" yang lemah lembut. Gerak-gerik dan kepribadiannya sangat feminin. Selain itu, dia akan mengubah wajahnya jadi "cewek" ketika berhadapan dengan Senpai.

Sahabatku tampaknya menjelaskan situasi yang sebenarnya pada Senpai bahwa cowok itu harusnya sedang tidur di UKS, sambil gemetaran karena gugup. Menatap wajah Senpai berangsur-angsur jadi tegas, membuatku takut. Meskipun begitu, aku tidak bisa diam saja kalau sudah menyangkut soal cowok itu, jadi aku langsung mendekati mereka.

"─Jadi, Sajou itu pingsan, ya?"

"Iya..."

"Itu... ...mungkin ini belum disampaikan ke Kaede, ya."

"Kaede". Nama itu tiba-tiba terdengar familier, aku berpikir sejenak dan teringat. Sajou Kaede. Itu merupakan nama kakaknya Wataru. Sebelum datang ke sini, Shinomiya-senpai sempat bertanya padanya apa ada pesan untuk adiknya. Sang kakak membalas pesan itu dengan biasa saja, jadi Senpai memastikan kalau dia belum tahu kalau adiknya dibawa ke UKS.

"Mmm... ...Aku ingin sekali menelusuri truk itu, tetapi... ...bukan itu intinya saat ini. Ini baru saja jam makan siang dan aku penasaran apa kalian kebetulan akan menjengkuknya...?"

"Ah, iya. ...Aku rasa kami akan menjenguknya ke UKS."

"Kami berdua juga akan datang nanti. Jadi, kalian bisa pergi duluan."

"Di-Dimengerti."

Senpai membalikkan badannya dan berjalan dengan cepat. Saat melihatnya begitu, aku jadi teringat suasana seni bela diri dengan ketajaman dari setiap gerakannya. Dia itu pasti sangat kuat, kalau tidak, dia tidak akan punya aura yang sangat percaya diri. Penampilannya itu benar-benar keren, dan aku bisa paham alasan mengapa sahabatku, Kei, jadi penggemarnya. Kalau dia bisa percaya diri kayak gitu, dia pasti punya pandangan yang lain dariku.

"Kei, mari kita pergi."

"Iya."

"Kei."

Aku mencubit pipi sahabatku yang mulus.

Buat berjaga-jaga, Aku membawakan tas Wataru ke UKS. Kei bertanya, "Menurutmu, apa saja isi tas ini?". Dia tersenyum, dan hendak melihat-lihat isi tas itu, jadi aku memutuskan untuk menjaga tas itu. Saat aku mengambil tas itu darinya, ternyata tas itu terasa sangat enteng. Aku paham kalau Wataru suka menaruh barang-barangnya di loker. Aku menggoyang-goyangkan tas itu sejenak dan mendengar suara gemerincing di dalamnya. Itu pasti dompetnya atau mungkin tas koinnya.

"Ah... ...ah."

Aku menyadari kalau aku sedang mengangkat tas Wataru sampai sejajar dengan wajahku saat pengisi daya ponsel pintarnya jatuh dari celah di suatu tempat. Cewek di sebelahku berkata, "Kamu sangat ingin membuka tas ini, kan? Apa kamu tidak mau membuka tas ini?". Dengan keras kepala, aku menolak, karena rasa keadilan. Tidak peduli meskipun Wataru sedang sakit dan dirawat di UKS, ia itu masih tetap punya privasi. Selain itu, tampang macam apa yang mesti aku tunjukkan kalau aku mendapati buku yang tidak pantas atau semacamnya?

(Tetapi ia juga cowok, ...dan tidak, tidak, tidak! Apaan sih yang aku pikirkan?!)

Tenang, tenanglah, sugestikan dirimu sendiri agar tetap tenang. Wataru tidak akan pernah membawa hal semacam itu ke sekolah. Aku mau mempercayai hal itu. Pertama-tama, sekarang bukan waktunya untuk terganggu oleh hal-hal semacam itu. Cewek yang berjalan di sebelahku ini, dia itu seorang cewek yang sangat cantik. Aku menghela napas dan penasaran ke mana perginya dirinya saat dia menegurku dengan tegas.

"-Maaf mengganggu... ...Hah?"

Saat aku memasuki UKS, bau obat-obatan menggelitik lubang hidungku. Dokter UKS, Shindou-sensei, sedang tidak ada di sana, dan di tengah-tengah keheningan ini, ada akuarium ikan mas di rak mengeluarkan suara gemerincing.

Melihat ke luar dari pintu kaca tanpa tirai itu, aku mendapati bahwa hujan di luar yang barusan deras, sudah mereda. Tanah, yang tampak dari sini, tertutup oleh genangan air, dan tidak memungkinkan lagi buat berjalan di atasnya. Aku penasaran, apa yang akan terjadi pada praktik lapangan besok.

Di bagian belakang UKS, ada tiga buah ranjang. Di antara ranjang-ranjang ini, cuma ada satu ranjang di dekat jendela di ujung yang disekat oleh tirai ini. Tidak perlu diragukan lagi, aku paham kalau Wataru sedang tidur di sana.

"Sajocchi~...? Apa kamu sudah bangun? ...kamu sedang tidur, bukan?"

"Iya, ...Aku rasa begitu."

Kami memanggilnya dari luar tirai pemisah, tetapi tentu saja tidak ada jawaban. Pertama-tama, aku tidak menyangka kalau ia akan tetap terbangun di ruang yang sepi ini sejak awal. Aku yakin kalau alasan aku mengetahui hal ini dan akhirnya memanggilnya, karena aku berharap ia sudah sembuh.

Wataru bernapas dengan sangat keras. Baru sekitar satu jam lebih sedikit sejak ia pingsan. ...Ia mungkin masih belum bangun. Tidak ada keraguan kalau ia masih belum sembuh dari kondisinya.

"Aku membawakan tasmu- ...Wah."

"Wah... —Apa?"

Di sebelahku, Kei perlahan-lahan membuka tirai itu, memanggil Wataru sambil berbisik, dan dia mundur selangkah dan tampak agak terkejut. Aku mendapatinya dan melihat ke arah ranjang yang terlihat melalui celah, dan mataku melebar tanpa sadar.

Ranjang putih yang keras, seperti yang biasanya ada di UKS. Secara pribadi, aku tidak terlalu menyukai itu. Tetapi tetap saja, ia menyelimuti dirinya dengan tenang di sisi lain tirai itu.

Wataru mengintip dengan samar-samar dari dalam, hujan rintik-rintik di luar melalui jendela, sambil menatapnya.

Support kami: https://trakteer.id/lintasninja

Baca dalam bahasa lain:

Bahasa Inggris / English

←Sebelumnya          Daftar Isi           Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama