Takane Zettai Motokano - Seri 1 Bab 5

Bab 5
Sekali Seumur Hidup

Jika kami pergi lewat jalanan utama maka kami akan menonjol, jadi kami mengambil rute yang berbeda untuk ke stasiun.

"......."

Saat kami melewati gerbang tiket (loket), Takane-san mengeluarkan arloji dari ranselnya untuk memeriksa waktunya.

Dari yang bisa kulihat sekilas, arloji itu memiliki gambar seekor binatang pada dial-nya. itu memiliki desain yang imut, untuk sedikitnya, dan aku merasa dengan terkejutnya itu menggemaskan.

"Ini sumpah hampir waktunya bagi kereta apimu untuk tiba."

Aku bertanya-tanya apakah akan baik-baik saja jika aku meninggalkannya di tempat ini. Tetapi setelah memikirkan tentang apa yang terjadi sebelumnya, aku menyadari kalau aku harus mengantarnya sampai dia naik ke kereta api.

"Kalau begitu, mari kita pergi ke peron."

"....."

Takane-san terlihat agak panik – dia tampak khawatir tentang masuk ke dalam antrean dengan sedikit orang untuk membeli tiket.

"Aku kira aku telah memeriksa salah satu dari toko di stasiun ini. Mereka menjual beberapa kue kering favorit keluargaku."

"..... Apa itu kue sus? Aku selalu melihat antrean melebihi pintu itu."

"Iya, iya."

Sekarang setelah aku bilang begitu, aku merasa terpaksa untuk membelinya satu. Aku yakin keluargaku akan senang jika aku membawa pulang kue sus, jadi aku membiarkannya begitu saja.

Selagi aku membeli tiket masuk, Takane-san menyusul dengan tenang di belakangku.

"........."

Aku merasa tidak nyaman diawasi dengan sangat dekat – dan ketika aku berbalik arah, aku lihat Takane-san mengeluarkan dompetnya.

"Jangan khawatir tentang itu, kewajibanku adalah untuk memastikan Takane-san naik ke kereta api dengan selamat."

"Tetapi...."

"Aku harap aku bisa meyakinkanmu kalau aku baik-baik saja, tetapi aku tidak berpikir itu mungkin."

Kami hampir tidak bisa mengobrol sejauh ini, dan aku tidak berpikir Takane-san akan mampu untuk mengubah pikirannya dalam waktu singkat.

Takane-san terlihat sedikit bermasalah. Dia tidak menyingkirkan tas kecilnya, akan tetapi terus menatapku.

"...... Aku ingin memastikan kalau hal-hal ini dilakukan dengan benar."

Takane-san memiliki beberapa koin di dompetnya, tetapi dia mengeluarkan kartunya.

"Kalau begitu.... Takane-san, bolehkah aku mengambil koin-koin itu."

"..... Tidak bisakah aku menggunakan kartuku saja?"

"Kamu tidak bisa. Aku akan bermasalah jika kamu menggunakan kartumu."

"Ahh-- kurasa begitu. Maafkan aku, aku tidak terbiasa membawa uang tunai di dompetku, hanya beberapa koin karena aku yakin aku membutuhkan uang receh di kafetaria. Aku akan menyiapkannya besok."

"Itu membuatnya seperti aku mengancammu untuk membawakanku uang...."

"Bukan, itu tidak seperti itu – Bukan begitu maksudku..."

Selagi aku melihat Takane-san semakin bertambah bingung, aku tersenyum meminta maaf.

"...Apa kamu berpikir aku menjadi naif?"

"Maafkan aku, hanya sedikit. Tetapi aku tidak menertawakanmu dengan maksud buruk."

"Jika bukan dengan maksud buruk... lalu mengapa kamu tertawa?"

"Aku pikir kamu sangat tulus, Takane-san."

"....Kalau begitu, itu bukan..... hal yang buruk, ya kan?"

"Itu bukan. Itu cuma seratus yen, kamu tidak perlu mengembalikannya."

"Tidak peduli berapa banyaknya itu, karena uang itu penting."

Aku menyadari kalau aku menyukai ketulusannya. Dia baru saja mengenalku, jadi itu agak beresiko untuk memberikanku kartunya.

"Ini bukanlah kartu kredit. Itu diisi dengan jumlah uang jajanku."

"Aku mengerti... Tetapi itu baik-baik saja. Kamu harus segera pergi selagi kamu punya waktu."

"..... Oh."

Takane-san melihat ke arah papan elektronik dan berteriak. Tampaknya, kereta api yang paling terakhir (masih baru datang) itu sudah berangkat.

"Kita harus pastikan kalau kita tidak ketinggalan kereta api yang berikutnya. Kita harus bergegas kalau begitu."

"Iya.... Maaf."

"Aku tidak sibuk, jadi aku baik-baik saja, tetapi bagaimana denganmu, Takane-san? Apa kamu memiliki tugas untuk dikerjakan?"

"Aku punya beberapa les yang harus dilakukan. Tetapi jika aku bisa naik kereta api berikutnya, aku bisa mendatanginya."

Aku ingat apa yang dia bilang di ruang kelas. Aku rasa dia sebenarnya berencana untuk pulang dan istirahat sebelum dia mulai belajar.

Saat aku melalui gerbang tiket (loket), aku melihat kalau itu jam sibuk untuk pulang, dan ada cukup banyak orang. Aku pikir aku mungkin akan terpisah dari Takane-san, tetapi dia menyusulku dari belakang dengan rapat.

"..... Oh, em, Takane-san."

"Maafkan aku. Ada sangat banyak orang, aku merasa seperti kita akan terpisah."

Ketika kita bisa melewati kerumunan, Takane-san mencubit sikuku lagi. Dia segala melepaskan tangannya, dan menunduk sambil meminta maaf.

"..... Memang memalukan ya? Digenggam di depan umum?"

Takane-san masih gelisah, dan itulah alasan dia berpegangan padaku. Kalau begitu keadaannya, aku harus bilang sesuatu untuk membuatnya nyaman.

"Aku tidak akan meninggalkanmu, jadi tidak usah khawatir."

"......."

Aku tidak yakin mengapa aku mengatakan sesuatu yang memalukan dan garing.

Mungkin itu karena aku terganggu, tetapi aku bilang sesuatu yang biasanya aku tidak pernah bilang. Kamu bisa berpegangan pada lenganku sebanyak yang kamu mau, atau sesuatu seperti —Tunggu, tidak. Itu tidak membuatnya kurang sembrono.

"..... Aku mengerti. Aku akan menyusulmu agar tidak kehilangan pantauanku padamu."

Di stasiun yang akan jarang sekali aku menggunakannya nantinya, kami memiliki percakapan seolah-olah kami sedang berada dalam semacam petualangan.

Kali ini, senyumanku berubah menjadi lebih alami dari sebelumnya. Takane-san juga menengadah sekarang dan tersenyum dengan tulus.

Cara dia menyisir rambutnya kembali dari pipinya begitu terlalu indah.

Inilah kedua kalinya dalam hari ini bahwa aku tertangkap basah menatapnya. Dia selalu bertindak dengan tenang, jadi senyumannya, yang jarang dia tunjukkan, meninggalkan kesan yang kuat padaku.

Aku sangat yakin kalau inilah satu-satunya masa aku bisa berbicara dengan Takane-san seperti ini.

Besok, mungkin kita tidak akan bicara satu sama lain, bahkan di sekolah. Kami memang selalu begitu, jadi itu wajar kalau kami tetap begitu.

Kami berhasil untuk ke peron dan itu hanya beberapa menit sampai kereta api berikutnya tiba.

Aku berpikir tentang apa yang harus kami bicarakan di akhir, tetapi semua yang aku bisa pikirkan adalah obrolan kecil biasa.

"....Hah?"

Aku berbalik arah dan tidak melihat Takane-san. Dia bilang dia akan menyusulku dari belakang. Baru saja ketika aku memikirkan tentang itu, aku ditarik di lengan baju seragamku lagi. Aku berbalik arah dan melihat Takane-san berdiri di sana.

"Ini.... Minumlah saat perjalanan pulangmu."

"Oh... Terima kasih."

Apa yang Takane-san tawarkan adalah sekaleng kopi. Meskipun ini masih Bulan April, ini masih agak panas dan lembab hari ini. Jujur saja, aku senang untuk meminum sekaleng kopi dingin.

"Lagi-lagi, aku ingin berterima kasih padamu. Terima kasih untuk segala hal yang kamu lakukan untukku hari ini...."

"Itu bukan apa-apa. Jika kamu punya masalah lagi, aku akan dengan senang hati membantumu, jika kamu tidak apa-apa. Oh, dan tentang kejadian hari ini, kamu mungkin harus untuk membicarakannya dengan guru kita secepatnya."

"Iya. Lain kali, aku akan lihat itu tidak akan datang pada–"

Baru saja dia berbicara, sebuah pengumuman berbunyi di peron. Dari rel itu, aku melihat sebuah kereta api bergerak menuju kami.

"Terima kasih yang, sangat banyak. Sampai jumpa besok, Senda-kun."

"Sampai jumpa besok, Takane-san."

Takane-san melambaikan tangan sedikit dan memberikanku senyuman licik, lalu menaiki kereta api yang baru tiba.

Dari dalam kereta api itu Takane-san melihat ke arahku. Pada akhirnya kereta api itu mulai bergerak dan kami saling melambaikan tangan untuk terakhir kalinya.

Ketika kereta apinya sudah jauh, aku membuka tutup dari kopi kaleng yang dikasih padaku dan mengesapnya. Itu dingin dan menyegarkan dan manisnya benar-benar pas saat ini.

Aku pergi ke toko buku untuk membeli buku yang aku titipkan, ketika aku pulang  menggunakan sepedaku, yang aku parkir di dekat toko buku, aku mendapati kakakku pulang ke rumah lebih dulu.

"Jadi, kamu pulang tanpa meminta informasi kontaknya?"

Dia menanyakanku sambil memakan kue sus yang aku beli untuknya. Meskipun aku memberi makanan favoritnya, dia menanyaiku dengan keras dengan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang terjadi hari ini betapa dia tidak ingin mengizinkanku untuk pergi dengan mudah.

"Kak Ruru, ada krim tuh di mulut Kakak."

"Jangan khawatirkan itu. Nakkun, pada situasi seperti itu, cowok seharusnya yang menanyakan informasi kontak si cewek. Dengan begitu, dia akan nyaman mengobrol denganmu."

"Tidak, apa yang Kakak bicarakan...?"

"Kamu menyelamatkannya dari senpai yang pemaksa, bukan? Mungkin ada saat-saat di mana dia mengingat itu dan merasa gelisah. Dan jika Nakkun bilang padanya kalau kamu akan ada untuknya, dia akan jatuh cinta padamu. Iya kan?"

"Tidak."

"Eh?"

Menggerutu, kakakku hampir meraih kue sus yang kedua, tetapi menyisakan beberapa untuk orang tua kami. Dia hampir tidak bisa mempertahankan martabatnya.

Kakakku mendekat ke belakangku di mana aku berdiri di sofa di ruang tamu dan menaruh tangannya pada bahuku. Inilah kelakuannya saat dia masih harus menanyakanku sesuatu.

"Nakkun, apa ada sesuatu yang kamu tidak bilang ke Kakak?"

"Hah...?"

"Kamu sepertinya sedang dalam suasana hati yang bagus, tetapi terkadang kamu terlihat depresi, kamu tahu? Jika kamu tidak apa-apa, Kakak bisa memberikan saran untukmu."

"Aku tidak akan meminta saran pada Kakak di usia yang masih segini."

"Ahh.... Kakak bisa tahu dari caramu mengatakannya kalau sesuatu terjadi pada Kiri-chan. Apa Kakak benar?"

Bagaimana dia bisa... Kuakui bahwa aku tidak bertingkah seperti yang biasanya aku akan lakukan tetapi akhirnya aku menyadari betapa menyenangkannya intuisi seorang gadis itu.

"Atau mungkin kamu lebih tertarik dengan Takane-san daripada Kiri-chan."

".....Aku dicampakkan oleh Asatani-san hari ini."

Aku pikir aku mengatakannya selembut-lembutnya yang aku bisa, tetapi aku bisa mendengar suaraku terdengar depresi.

"Mungkin hanya Nakkun saja yang salah paham... Apa Kiri-chan bilang sesuatu?"

"Dia bilang aku bersyukur karena aku adalah temannya. Itu berarti begitu.... kan?"

"Oh... Tetapi itu membuat Kakak berpikir kalau Nakkun dilihat sebagai seorang lelaki."

"Dia mengatakannya secara tersirat. Hanya menjadi temannya.... benar-benar tidak masalah buatku."

"Kamu itu tahan terhadap banyak sekali masalah. Kamu selalu saja seperti itu, benar kan, Nakkun?"

"...Aku tidak bisa terlihat terkejut atau apalah seperti itu. Itulah mengapa, aku hanya ingin menjadi normal."

Tangan di bahuku meninggalkan tubuhku sejenak. Ketika aku melihat ke belakangku, aku melihat kakakku dengan tangannya yang terulur dan siap (untuk memijat).

"Kak Ruru, di umur Kakak yang segini, ini benar-benar..."

"Tch... Pada situasi semacam ini, kamu harus dimanjakan oleh kakakmu."

"Jangan mendecakkan lidah Kakak seperti itu... dan juga, aku tidak depresi, dan Takane-san itu hanya teman sekelas."

"Itu tidak bergantung padamu, iya kan? Kamu baru saja masuk ke SMA selama sepekan, jadi kamu harus menghargai setiap pertemuan. Itu disebut 'sekali seumur hidup', bukan?"

Ketika aku melihatnya menjadi sangat tegas, aku tidak bisa apa-apa selain merasa sedikit senang. Dia adalah seorang kakak yang murah hatinya tak terhingga yang kupunya.

"Ahh... itu membuatmu tersenyum. Sekarang jika kamu bisa menonton Kiri-chan di televisi dan tidak terganggu. Kamu akan lulus."

"Kakak tahu... Tadinya aku merasa ingin berterima kasih pada Kakak tetapi sekarang Kakak menghancurkannya."

"Kalau begitu, kamu masih bisa menunjukkan rasa terima kasihmu dengan membersihkan kamar mandi. Kakak akan menyiapkan makan malam."

Kakakku menarik rambutnya ke atas dengan ikat rambut, mengenakan celemek lalu pergi ke dapur.

Ruruka Senda, itu adalah nama lengkapnya. Dia melarangku untuk memanggilnya dengan nama lengkapnya karena dia bilang itu terdengar megah.

Kakakku mungkin begitu, tetapi dia sangat peka dengan segala perubahan pada perilakuku. Aku tidak berpikir kalau aku harus membicarakan tentangku yang dicampakkan begitu mudahnya, tetapi aku merasa sedikit baikan setelah membicarakan itu.

"Terima kasih, Kak Ruru."

"Apa?"

"Bukan apa-apa kok."

Aku menuju ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Dalam perjalanan menuju ke sana, aku memeriksa ponselku untuk pertama kalinya setelah beberapa jam dan menyadari bahwa Asatani-san telah menghubungiku.

(Oh tidak..., bukankah ini waktu aku berada di stasiun?)

Aku tidak tahu ini tentang apa, tetapi panggilan tak terjawab masih ada di sini.

Aku tidak bisa menebak apa yang Asatani-san pikiran sama sekali. Dia hampir tidak pernah menghubungiku ketika aku masih pacarnya, jadi perubahan hati macam apa yang dia miliki saat ini?

Aku membalas dengan 'Maaf, ada apa?', tetapi dia tidak membaca pesan itu pada hari itu dan aku harus menghabiskan malam itu dengan rasa bermasalah.


←Sebelumnya             Daftar Isi              Selanjutnya→


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama